"Kamu ngapain sih, Mae. Pakai beli buket bunga segala." Fardah belum selesai menusukkan tuspin ke hijabnya, Maeda sudah mengajaknya membeli cinderamata untuk menjenguk Nizar.
"Nggak kenapa-kenapa. Ya, sebatas inisiatif sendiri saja." Maeda menimpal santai. Dia memilih bercermin sebentar, mengoreksi adakah yang tidak pantas dengan tampilannya.
Sudah lama tidak mengenakan pasmina dan setelan celana, Maeda berulang kali menarik outer yang tidak kebesaran dan celana yang sangat pas dikenakan.
"Kamu udah cantik, seperti Khumaira." Ucapan Fardah bagi Maeda terdengar seperti ledekan.
"Nggak perlu ngeledek, deh. Bilang saja, sebenarnya aku nggak pantas kan, memakai pakaian seperti ini." Maeda cemberut.
Anggun, lemah lembut dan selalu tak ketinggalan mode bukanlah type seorang Maeda. Cantik dan kulit bersihnya sejak lahir, secara kebetulan membantu dirinya senantiasa serasi, meskipun hanya pakaian kualitas standar.
"Ya Allah, aku nggak ngeledek, Mae. Kamu memang cantik. Beneran!" Fardah menepuk pundaknya yang masih membentuk bayangan di cermin.
"Ayo berangkat. Sebelum jam 8 malam." Fardah meninggalkan Maeda yang belum beranjak.
***
Tidak bersama penghuni kos yang lain, Maeda dan Fardah pergi menjenguk Nizar dengan berboncengan satu motor. Cukup se anting buah-buahan sebagai cinderamata, yang mengantar kesembuhan Nizar selain doa."Mbak, pasien atas nama Nizar di ruang apa ya?" Setengah jam kemudian, meja resepsionis menyambut Maeda di rumah sakit bercat orange.
"Nizar Hamdani Zulkarnain, Ruang Dahlia nomer 6. Kalau dari sini, Mbak bisa berjalan lurus, nanti ada lift silahkan belok ke sebelah kiri." Penjaga resepsionis menyempurnakan kalimat dengan senyum manisnya.
"Terimakasih, Mbak." Fardah balas tersenyum.
Tidak sulit menemukan ruang dahlia yang dimaksud. Selagi masih dilantai satu, meskipun letaknya yang lumayan membuat berkeringat. Serba di ujung bangunan dari segala arah, membuat Maeda mampir sebentar ke kamar mandi untuk mengkroscek penampilannya sekali lagi.
"Astaghfirullah, Ya Allah, ampuni saya dan teman saya yang bernama Maeda." Fardah sengaja bertingkah hamba yang teraniaya, saat melihat Maeda mengusapkan lipbalm di bibirnya yang sudah merah kemilauan.
"Mae, yang kita temui Nizar. Bukan rektor, gubernur, atau ibu negara. Cukup jadi diri kamu. Jangan aneh-aneh." Fardah menasehati temannya yang kini menepuk nepuk wajahnya dengan krim pelembab.
"Kamu sendiri yang menyarankan, agar kita selalu berpenampilan menarik saat bertemu dengan siapapun." Respon Maeda tidak mau kalah.
"Tapi kamu terlalu berlebihan, Mae. Aku sudah bilang kamu cantik tadi di kos. Jadi, nggak perlu dibuat berlebihan. Kalau semisal, keluarga Nizar ada disana semua, bisa-bisa kamu di katain ondel-ondel."
Fardah mengambil paksa lip balm dan krim pelembab. Dia berharap temannya tidak lagi bersusah payah menjadi orang lain demi sosok Nizar yang belum tentu bersusah payah untuk Maeda.
"Sudah hampir pukul 7. Jangan buang-buang waktu hanya karena penampilan." Fardah menarik tas selempang kulit Maeda.
"Jadi Maeda jurusan biologi?"
Merasa kalau ada yang menyebut nama beserta jurusan kuliah, si tuan yang bersangkutan berbalik mencekal lengan temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Maeda [END]
Teen Fiction#Rank-1 In Islamic Story (23 April- 12 Mei 2020) #Rank-2 Islamic Story (30 Maret - 07 April 2021) "Menikahlah denganku, Maeda." Tenggorokan Maeda seperti disumpal satu ton batu, hingga ia kesulitan meneguk ludah. "Ku ulangi sekali lagi. Menikahlah d...