Tidak Sedarah

404 47 150
                                    

  "Satu minggu ke depan. Aku titip kamu buat jagain Hani, ya." Membahas sikap Arok, memang bukan tujuannya menuruti kemauan Maeda yang mengajaknya bicara empat mata.

   "Kenapa harus aku yang menjaga dia? Bukankah lebih baik kamu Mas, sebagai kakaknya." Sebelumnya Maeda sempat penasaran.

    Pantulan biru dari kolam renang masih memikat mata mereka lebih lama.

    "Bantu aku satu kali ini saja, Mae." Pinta Arok sepenuh hati.

    "Memangnya Mas Arok mau kemana? Hani juga bukan anak SD yang harus kita jaga, Mas. Dia udah besar." Argumen yang logis. Tetapi pria itu masih belum merespon.

     "Nggak kemana-mana sih, paling juga sibuk ngerjakan tesis, turun ke sekolah sama ngisi seminar."

    Hampir terlupakan, Mas Arok adalah ketua yayasan Fastabiqul Khairat, dimana yayasan tersebut bergerak dalam bidang pendidikan formal. Dari jenjang dasar sampai kelas atas, yayasan tersebut menaungi dan ikut mensukseskan tujuan pendidikan nasional.

    Baru tahun lalu, dia ditunjuk menggantikan pamannya dan diminta untuk mengelola Yayasan agar lebih berkembang dari yang sekarang.

    "Terus, hubungannya sama aku? Aku harus mendikte segala kegiatan dia?"

    "Nggak juga, Mae. Aku hanya minta kamu jagain dia. Antar kalau dia minta pergi ke suatu tempat, temani dia selagi kamu nggak sibuk." Maeda memegangi dagu.

     Permintaan Mas Arok sama sekali tidak sulit. Tetapi, Maeda sungguh kali ini tercekat.

    "Tapi dia kan, adik kamu, Mas. Kenapa harus aku yang turun tangan coba. Kamu ini aneh." Maeda tak habis pikir. Dia terkekeh lalu memilih untuk duduk.

    "Maaf, aku tidak sedarah dengan dia." Singkat, padat dan jelas seperti kalimat efektif yang kerap di kemas dalam pelajaran bahasa indonesia.

    "Apa kamu bilang? Ya Allah, Mas Arok jangan bercanda deh."

    "Kami bukan saudara kandung, Mae."

    "Jadi?" Maeda terhenyak, spekulasi di Bandara tadi bernilai valid dan barusan di verifikasi orangnya langsung.

    Arok mengangguk.

    "Bagaimana ceritanya, Mas?"

    " Panjang Mae." Arok sengaja memancing rasa penasaran Maeda.

    "Panjang itu relatif, Mas. Ayolah gimana ceritanya. Jangan buat aku penasaran." Maeda memperpendek jarak dengan berdiri di sampingnya.

    "Aku dan dia se-Ayah tapi beda ibu. Ayahku seorang dosen yang pernah mengajar di salah satu kampus di Bali. Tinggal disana 2 tahun, membuatnya jatuh cinta dengan penari Bali." Arok melihat mata Maeda yang masih seksama memperhatikannya.

    " Hanya itu. Menariknya mana? Terus,"

    "Ibuku beda agama dengan Ayah. Ibuku beragama Hindu dan Ayah seorang muslim. Mereka menikah, hidup bahagia dan melahirkan aku. Tetapi, saat aku SMA ibuku meninggal karena sakit."

     Tidak bertele-tele, disampaikan dengan sederhana, namun Maeda sangat tertarik mendengar sisi lain dari Arok.

     "Meskipun mereka berbeda agama dan tidak lagi bersama, mendiang Ibuku berwasiat, meminta agar Ayah menikah lagi." Cerita yang membuat Maeda bisu tak ingin menanggapi.

    Ini bukan telecinema, ini sungguhan. Setelah dia terkejut, Maeda masih enggan berpaling untuk melihat yang lain.

   "Dengan berat hati, setahun kemudian menikahlah ayahku dengan sahabat Ibu. Seorang janda beranak satu, Bu Syarifah. Ibu rumah tangga asal Bandung yang sangat menyayangiku." Seperti bukan cerita kelam, Arok baik-baik saja mengatakannya.

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang