Kontradiksi

347 40 106
                                    

"Jadi, kamu adiknya Mas Arok?" Bukan kafe, sepasang wanita itu duduk di bangku panjang koridor lantai empat.

Mereka bertemu kembali secara kebetulan dari sebuah banner. Tadi pagi, iseng-iseng Hani membuka instagram, lalu mengunjungi salah satu akun lomba model dan hijab yang selalu update.

Senin depan. Bukankah dia masih di Surabaya? Hani tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

Barangkali dia bisa memenangkan lomba yang dihelat oleh fakultas ekonomi kampus Arok itu. Sejadinya dia menghubungi salah satu CP, yang ternyata pemilik ialah Maira, kenalannya dulu di berbagai lomba yang sama.

"Kakak beradik tidak sedarah. Menarik bukan?" Hani menimpal dengan santai sembari menunjukkan senyum tak berdosa.

"Apa?" Lawan bicaranya memekik, membenarkan posisi duduk yang sedari tadi menyamping.

"Kamu dan dia tidak sedarah, bagaimana ceritanya?"

Setelah mereka bercuap-cuap membicarakan kesibukan, Hani secara otomatis menceritakan kedatangannya ke Surabaya. Menunjukkan foto pria yang dikaguminya, dan menjelaskan status mereka.

Sejadinya dia harus terus terang. Bagi Hani, menceritakan kisahnya tentang Arok memiliki nilai tersendiri. Menjadi kebanggaan dia, karena sikap, paras dan perangainya yang menawan.

"Ibuku di nikahi ayah Mas Arok 6 tahun yang lalu. Dan sekarang, kami menjadi saudara. Saudara yang justru membangkitkan rasa sayangku teramat lebih untuknya." Hani berseri-seri setiap menyebut nama itu.

"Maksud kamu?" Maira mengabsen. "Kamu menyukainya? Kamu berharap Mas Arok jadi kekasih kamu?"

"Anggap saja seperti itu. Aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini. Sejak pria itu pertama kali datang ke rumah, mataku seketika tak berkedip. Begitu tampan dia, apalagi dengan setelan kemeja yang licin." Hani bukan wanita pemalu yang mengatakannya dengan perlahan.

Hani hanya ingin memperjuangkan perasaannya. Kepada Maeda, junior Arok di kampus itu, dia rasa tidak se open mind seperti Maira.

"Seorang Hani naksir Mas Arok? Begitu?" Sudah sepersekian kali Maira masih meragukan.

"Iya. Wajar bukan? Dia tampan, cemerlang, sifatnya jempol. Sekalipun kami saudara, tetapi tidak sedarah. Kalau kamu di posisi aku, mungkin akan melakukan hal yang sama."

Maira susah payah menelan saliva. Dia setuju dengan argumen Hani. Saat ini, setelah mendengar cerita itu tersiar, batinnya menjerit ngeri disisi lain mengaum kegirangan.

"Menurut kamu, ada peluang nggak sih buat aku menjadi kekasih Mas Arok?" Pertanyaan itu lagi, Maira seperti dicekik penguntit yang diam-diam menyusup ke rumahnya.

"Kamu beneran suka sama dia?"

"Kamu meragukan aku banget, sih. Apa yang bikin kamu ragu, Maira? Kamu mungkin sudah tahu kalau dia jomblo. Terus, sampai saat ini, dia lagi enggan pendekatan dengan wanita." Hani si narasumber menyandarkan kepala ke tembok.

Dia meraih ponsel lalu membuat panggilan kepada seseorang.

"Mbak Maeda nggak sibuk kan? Udah selesai belum urusannya?"

Suara diseberang sedang menyahut dengan jawaban panjang.

"Kalau udah selesai, Mbak Maeda nggak keberatan kan buat jemput aku di fakultas ekonomi?"

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang