Melamarmu

465 45 80
                                    

"Menikahlah denganku, Maeda." Tenggorokan Maeda seperti disumpal satu ton batu, hingga ia kesulitan meneguk ludah.

"Ku ulangi sekali lagi. Menikahlah denganku, Maeda." Sang pria beranjak dari kursinya, lalu berjongkok dan menggenggam tangan Maeda yang kaku.

Maeda masih mematung. Dia baru saja tiba di depot yang sekarang mulai dipenuhi pengunjung. Tentu, pria di depannya ini juga tidak sedang bergurau, bukan?

Maeda serasa mendapat doorprize, dari variety show door to door berhadiah.

"Apa perlu, ku ulangi lagi kalimat tadi?" Sang pria tak masalah, bila seluruh mata tertarik dengan tindakannya. Dia juga baik-baik saja, bila seluruh mulut asyik membicarakannya.

"Maeda Salsabila Cahyani, ku mohon bersedialah menjadi penggenap imanku. Temani aku,"

Maeda berpikir sebentar. Tidak mungkin pria itu gila. Pria itu yang selama ini dekat dan memahami perasaannya. Dia juga mengerti perasaan Maeda berbalas untuknya. Tetapi, mengapa sangat tiba-tiba. Agak disayangkan.

"Aku tidak pandai merayu, berkata-kata dan---"

"Baiklah. Aku bersedia." Senyum gadis itu tersimpul begitu manis, sekaligus senyum yang lain terbit dengan mengilaukan.

Maeda tersenyum sendiri, melihat fortune cookie dengan pikiran liarnya. Arok yang melamarnya di sebuah depot yang ramai pengunjung. Dialah Arok yang melayangkan proposal tadi. Sayangnya, di kedipan mata berikutnya, Maeda hanya menemui Fardah dan Yanis yang sedang berkutat mengerjakan tugas masing-masing.

"Kalian ada disini dari tadi?" Pertanyaan itu membuat Maeda seperti orang hilang ingatan.

"Kamu pikir, kita berangkat sendiri-sendiri gitu? Maeda, kita berangkat ke kampus bareng, nyari wi fi." Yanis agak sewot merespon pertanyaan tadi.

"Berarti, kalian tahu kalau aku lagi," Dia sengaja memutus kalimat. Jangan, jangan diteruskan. Dua orang itu bagaimana, bila mengiranya setengah waras?

"Lagi senyum-senyum, sambil lihat fortune cookie." Fardah menyahut dengan posisi kacamata sepadan dengan tulang hidung.

"Kamu bayangin apa, Mae. Kita udah dua jam disini, tapi perasaan kamu belum buka laptop sama sekali." Lanjut Fardah heran.

"Dia lagi jatuh cinta, Far. Kita maklumi saja." Yanis ikut bersua sebelum matanya dijatuhkan ke buku-buku tebal.

Praktikum dan hasilnya sudah selesai. Dia hanya merevisi kajian teoritis yang sangat membuat Yanis ingin muntah. Pak Ghofur, masih belum memberi tanda tangan yang sah terhadap Bab duanya.

"Sama siapa, Yan. Wah, semenjak dia pindah ke rumah pemberian Mas Arok, Maeda nggak pernah cerita tuh."Fardah sebenarnya tahu jawaban atas jatuh cinta temannya itu. Fardah hanya ingin merecokinya.

"Oh iya, besok nonton event hijab dan model, yang dihelat anak ekonomi, yuk. Aku udah mulai besok, lihat laptop dan buku terus." Yanis beralih topik.

"Sok gaya banget, kamu. Kemarin siapa yang habis dari Bali? Masa ya aku?" Maeda dibuat iri dengan mantan kekasihnya itu.

"Beda lah Mae. Kemarin hanya ngantar Mas Arok, kita nggak kemana-mana. Dan ini, makanan yang kalian makan adalah hasil perjalanan kemarin." Yanis membela diri, namun demikian kebenarannya.

"Udah, udah. Nggak perlu saling menyalahkan. Harga tiketnya berapa? Nggak mungkin gratis, kan?" Fardah berusaha menjadi penengah.

"Kalian udah aku belikan. Tadi, aku sengaja beli tiga. Kita di kursi VIP. " Yanis mengatakan penuh antusias.

"Emang apa bagusnya sih acara itu. Melenggang di karpet merah sambil berkacak pinggang. Meliuk-liukkan tubuh, seperti yang paling sempurna saja." Maeda baru membuka laptop dan kotak pensil.

Menyinggung masalah itu, tidak kali ini saja, jawabannya sentimentil. Semua sudah tahu, kalau disana Maeda akan bertemu wanita-wanita kompetitornya. Ada Maira dan juga Hani. Secara tampilan itulah, yang membuat Maeda selalu pesimis, biarpun dua orang itu selalu mengejarnya.

"Yasudah kalau nggak mau. Kamu gimana, Far? Berangkat apa nggak?" Yanis memastikan.

"Kalau aku, ayo saja lah. Haaaahhhh, udah lama nggak nonton pertunjukan dengan lampu khasnya."

Yanis menjajarkan dua tiket yang seketika disambar Fardah. "Aku juga mau cari referensi, busana muslimah yang lagi trendy kayak gimana."

Temannya itu tak ingin teramat mengusahakan, karena biar bagaimanapun, Maeda ujungnya akan mengambil satu tiket digenggamannya.

"Kalau memang nggak mau lihat, aku kasihkan Mbak Ainun ya." Yanis segera mengemasi tiket tersebut kedalam tas. Namun, dengan sigap Maeda menyambarnya.

"Anggap saja aku sedang refreshing." Ekspresi Maeda seketika kikuk.

Seutas senyum menang akhirnya muncul, karena rencana yang disusun kelak berjalan dengan mulus.

***
Hani datang ke rumah Arok untuk memastikan, apakah kakaknya akan menyaksikan dia berkompetisi apa tidak. Rok tutu warna violet, dipadu rompi bulu warna off white membuat Hani nampak cantik sekali. Make up nya, bukan seperti sosialita high class. Dengan sapuan blush on samar, bibir sedikit tebal dan eyeshadow warna pastel, tentu akan mengalihkan mata yang melihatnya.

Hani nampak energic, dinamis, dibalik kaki yang ditumpu highheels 10 cm.

"Mas Arok nggak pulang Hani dari semalam." Maeda adalah tetangga depan rumah yang menuturkan.

"Kemana Mbak, kakakku itu?" Tanyanya sembari mengetukkan heels dengan langkah catchy.

"Mana aku tahu, Hani. Mbak Maeda sibuk ngerjakan skripsi. Terus dia juga nggak ngabari aku." Maeda menjawab dari teras rumahnya dengan pakaian gombrang.

Hani sang calon adik iparnya, segera memasuki mobil jazz tanpa mengucap satu kata pun.

"Mungkin semua ini akibat dari Mas Arok yang salah menjatuhkan perasaan." Maeda menapak maju, mencoba mengedarkan pandangan ke mobil tadi, yang rupanya sudah teramat jauh melaju.

Maeda jadi tidak enak sendiri dengan Arok. Dia yakin, pengemudi barusan adalah suami Mbak Ambar.

"Jadi nonton, kan?" Suara tuannya membuat Maeda seketika beralih. "Dandan yang cantik ya,  Mae. Mas Arok pengen, disaksikan kekasihnya, seperti di konser-konser yang lain."

Mas Arok sudah berdiri di depan gerbang rumahnya. Kapan pria itu datang?
"Hari ini, band ku jadi guest star, di event hijab dan modelling fakultas ekonomi." Dia mengembangkan senyum, kemudian berlari kedalam rumah.

"Mas Arok jadi guest star bersama bandnya?" Maeda masih tidak mengerti dengan fakta yang ada.

Dia mematung teramat lama, memikirkan jawaban yang sesuai untuk guitar vokal, yang sudah keluar dengan setelan kemeja warna hitam. Agak terlalu resmi, namun bagi Maeda, malam ini Arok sudah mirip Oppa-Oppa Korea.

"Kamu datangkan? Lihat Mas Arok nanti perform kayak gimana?" Langkah pria itu teramat buru-buru, dan ikut hilang ke arah mobil Mbak Ambar tadi.

"Mas Arok masih sadar, usia kan? Ngapain coba dia kesana? Kalau aku jadi dia, mending aku di rumah, nyelesaikan tesis." Maeda menutupi wajah, karena merasa malu dengan usia Arok, yang kembali menjadi mahasiswa strata satu.

***
Assalamualaikum
Pagi semuanya, bangun yok
Udah H- berapa lebaran ya.
Meskipun di rumah aja, jangan lupa bersih-bersih. Biar lebaran, rumahnya juga ikut fitri.

Selamat membaca.
Jang Mi
Jum'at, 22 Mei 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang