Kenalan Baru

382 45 108
                                    

  "Ya Allah, kamu makin tinggi aja, Han. Berapa tahun kita nggak ketemu?" Tinggi badan wanita itu hampir menyamai Arok saat mereka berjajar.

   "Kok berapa tahun? Lima bulan yang lalu kamu pulang ke Bandung, Mas." Tingkahnya yang manja membuat sepasang mata dari kejauhan berkerut.

    Ini sebatas pikiran Maeda yang melintas sebentar. Perempuan yang tengah memukuli punggung Arok itu, benarkah adik kandungnya? Mereka sedarah tidak?

   "Kamu selalu mengesampingkan Aku dan Ibu daripada kuliah kamu, Mas. Kuliah adalah dewa." Giliran sekujur tubuh Arok yang di cubit.

   Pria itu tidak protes dan hanya balas mengaduh. Tak lama, mereka saling melempar canda dan menjewer pipi satu sama lain.

   "Mae. Jangan disitu saja." Arok melambaikan tangan ke arah Maeda.

" Mae, aku mau ngenalin kamu ke adik aku." Arok berteriak sekali lagi.

   Maeda menampilkan senyum dengan dibuat-buat. Ini hanya firasat, mungkin yang tadi dijumpainya hanya halusinasi tak bermutu akibat seharian menghadapi Nizar yang teramat gagal faham.

   "Han, ini teman aku, namanya,"

   "Mbak Maeda, kan?" Han. Namanya Hani, kalimat Arok dan membuka jabat tangan. "Hanifidah Mamlu'ah. Hani. Salam kenal Mbak Maeda." Hani yang manis saat tersenyum, membuat spekulasi tadi ambyar satu demi satu.

    "Maeda Salsabila Cahyani. Maeda." Hati Maeda sibuk mengumpat karena telah sembarangan membuat penilaian.

    "Senang berteman dengan Mbak Maeda. Kita nanti bakal sekamar, loh." Hani mengucap penuh percaya. Sedangkan yang diajaknya bicara masih belum saklek.

    "Sekamar?" Maeda memastikan, matanya mengadakan validasi ke mata Arok yang berkilat senang.

    "Iya, Mbak. Kita sekamar. Mas Arok belum cerita ya?"

     "Mas Arook,,--" Maeda serasa dikerjai seniornya dan seketika mendaratkan tatapan tajam.

      "Apa? Kenapa dengan tatapan itu?" Hari ini Arok menang banyak dalam menghadapi Maeda. "Pulang, yuk. Hani kebetulan mau memamerkan cita rasa masakannya ke kamu."

     Sungguh promotor yang baik. Arok seolah sengaja mengatakannya terang-terangan di depan Maeda, mengingat dia tidak berbakat di bidang satu itu. Maeda bisa memasak hanya ala kadarnya. Urusan perut bisa kenyang dan menerima rasanya, sudah lebih dari cukup.

    "Kamu belum makan kan?" Diktenya seperti Maeda adalah anak kecil yang bandel.

     "Mas, Mas Arok sengaja bukan?" Satu hentakan kakinya membuat Arok terpingkal-pingkal.

     Maeda mendahului Hani dan Arok untuk kembali ke mobil dan bersiap untuk kegiatan yang telah Arok janjikan.

     ***
    "Bagaimana tadi kamu bisa langsung mengenali aku?"

    Di ruang makan Arok, bunyi sendok dan garpu saling berkolaborasi memecah hening bangunan yang lumayan luas itu. Tempat tinggal Arok tidak begitu besar, dibanding rumah seberang yang ditempati  Maeda.

     "Aku tahu kamu dari Mas Arok." Hani menyendok capcay kemudian di letakkan di piring Arok yang masih kosong.

     "Mae, kamu nggak berminat ngambilin aku nasi, ikan mujair, atau pepes udang?" Dari pagi sampai malam pria yang dulu di kenal cool, tiba-tiba berubah blingsatan. Mas Arok yang membuat Maeda bejibun dosa karena berulang kali mengumpat.

     "Mbak, dia memang manja. Jadi, tolong diambilkan ya. Jangan kaget kalau dia terkadang nyebelin." Hani merespon enteng. Sebagai saudaranya, dia mungkin sudah kebal dan terbiasa.

     Tetapi bagi Maeda, khusus hari ini saja, ulah pria itu menjengkelkan. Selebihnya, Arok tetap pria yang mempesona dan penuh wibawa.

     "Mas Arok bilang, kamu juniornya di kampus yang begitu menggilainya. Mbak Maeda wanita random yang berhasil membuat Mas Arok mengoleksi foto dengan angel yang luar biasa." Hani bersuka cita mengatakan. Si sasaran mendadak tak jadi mengambil telur dadar.

    "Mas Arok bilang gitu?"

     "Iya. Tapi dulu sih, sebelum dia jadi mahasiswa Pasca." Hani tak mengindahkan ekspresi Maeda yang benar-benar ingin mencekik Arok. " Terus, Mas Arok juga pernah bilang, kalau Mbak Maeda itu wanita penuh semangat dan tangguh."

     Setidaknya Maeda bisa bernafas lega, kejelekannya tidak diobral Arok semua. Tetapi, memang hanya tadi kelemahan Maeda yang diketahui Arok. Dahulu, mereka tidak pernah sedekat ini. Untuk mendapatkan agar Arok banyak bicara saja, dia harus bertingkah tidak lazim.

     Contoh kecil, Maeda mati-matian belajar buku filsafat agar bisa mengimbangi topik saat Arok diajaknya bicara. Atau yang lebih membuat orang mengelus dada, dia kerap menerobos masuk untuk mengikuti kelasnya.

     "Ada yang lain nggak Han, yang Mas Arok katakan."

     "Nggak ada. Selebihnya aku hanya mengagumi wajah kamu yang cantiknya natural sekali."

     Maeda perlu mengajaknya bicara empat mata, agar tingkah laku Arok tidak lagi seenaknya.

      "Kenapa nggak jadi ambil telur dadarnya?" Arok mengetahui Maeda sedang tak bersemangat. Di saat yang lain tengah menikmati hidangan, wanita di depannya hanya menampakkan muka masam.

      "Mbak Maeda, ada apa dengan telur dadarnya? Keasinan, kurang pedes, atau?"

      Perkataan Hani terjeda mengetahui dua orang bersamanya sudah bangkit dan melangkah menuju kolam renang di belakang.

      "Telur dadarnya keasinan ya? Mbak Maeda kok nggak bilang aja sih." Hani mengambil potongan telur dadar yang akan diambil Maeda, kemudian mencicipinya.

      Tidak asin. Rasanya pas. Hari ini tubuhnya memang kurang fit. Namun, flu dan batuk tidak sampai mengurangi indra pengecapnya dalam membedakan rasa.

      "Mbak Maeda harusnya bilang kalau masakanku nggak sesuai dengan lidahnya." Hani ikut menyusul mereka ke kolam belakang.

     ***
     "Mbak Maeda, kenapa nggak bilang kalau--," Arok sengaja memotong ucapannya dengan mengkode agar mereka ditinggalkan berdua.

     Arok mengambil ponsel di saku. Dia tidak ingin membuat Hani memarahinya. Adik Arok satu-satunya itu lebih mengerikan dibanding marahnya Maeda barusan.

     Dia menyebut Maeda marah, sekalipun kenyataannya. Maeda tidak menampakkan wajah berang.

To : Hani Adik
         
  Semuanya baik-baik saja. Masakanmu tetap enak. Hargai privasi kami ya. Maeda sekedar minta penjelasan dari aku kok. Selebihnya, kami nggak ada apa-apa.

  Sarat akan perhatian. Hani membaca pesan dari kakaknya dan mengangguk. Sekalipun bibirnya hanya mengerucut, dia harus meninggalkan tempat itu sekarang juga.
  
   "Kamu tersinggung soal yang tadi?" Arok menanyai Maeda yang fokus dengan pantulan gelombang air kolam di tembok rumahnya.

   "Mas, hari ini sikap kamu aneh saja. Kamu yang manja, kamu yang suka sekali mengeluarkan kelakar dan berusaha melucu. Mas,--" Maeda memastikan Arok benar-benar mendengarkan keluh kesahnya.
  
    "Aku ingin kamu melupakan Nizar, Maeda. Aku berharap kamu tidak lagi terpaku sama dia. Ini serius, bukannya tadi sudah ku katakan." Arok berkacak pinggang, mendekati Maeda yang melipat tangan.

   "Soal itu, tenang saja Mas. Aku udah berusaha kok. Kamu nggak perlu mengeluarkan sikap anti mainstream yang justru membuat aku bingung." Maeda menegaskan. Nada bicaranya tidak menaik, dia tidak sedang marah. Hanya meminta penjelasan.

  "Beneran?"

  "Iya." Maeda memasang senyum sebagai bukti bahwa ucapannya patut diandalkan.

   "Udalah nggak perlu nguatirin aku lagi. Aku wanita tangguh, Mas. Ngelupain kamu saja bisa. Apalagi dengan dia yang hanya dekat 2 bulan."

***
Assalamualaikum
Alhamdulillah, agak keringetan nih upload
Gara-gara bingung ngasih judul.
Padahal disini hujan deres.
Gercep yuk bacanya.

Jang Mi
Rabu, 29 April 2020
   
    

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang