-Save Me-

878 124 26
                                    

"Kakakmu terus berulah. Membuat keributan sana sini. Kau pikir bibimu ini orang kaya?"

"Dia sudah sarjana, tidak ingin membiayai kuliahmu?"

"Ayahmu bahkan tidak peduli kau sehat atau tidak, kau hidup atau mati."

"Kita sudah miskin. Semua harta yang bibi punya sudah dipakai untuk mengkuliahkan kamu dan kakakmu."

Jieun berjalan menyusuri jembatan Sungai Han. Matanya sembab, bahkan ia tak dapat melihat jalanan dengan jelas. Pikirannya kosong. Bahkan telinganya tak dapat mendengar suara mobil yang tengah berlalu lalang di dekatnya. Ia hanya mendengar suara sang bibi di telinganya. Suara cacian dari pihak keluarga ayahnya itu sering kali ia dapat.

Jalannya begitu lesu. Mencari ujung jembatan meski masih terlalu jauh.

Menggunakan pikirannya untuk berpikir apakah ia salah mendapat semya fasilitas ini? Bisa kuliah di kampus yang cukup ternama di kotanya. Tapi, jika dipikir-pikir itu bukan kemauannya?

Rambutnya yang tadinya terkuncir rapih kini sudah berantakan. Jieun hanya menatap aspal tempat kakinya berpijak. Tak perduli ia menabrak orang atau tidak.

Mentalnya sudah hancur sejak kecil. Kelurganya berantakan. Ibu, ayah bahkan sekarang kakaknya ikut meninggalkan ia sendirian. Di rumah orang yang tak terlalu asing, namun kadang membuatnya merasa tak pantas ada di rumah itu.

Jieun kecil selalu tumbuh dengan rasa cinta dari orang sekitarnya. Anak kecil yang cantik, pintar dan selalu pendiam itu nampaknya banyak memikat hati siapapun untuk memilikinya.

Namun, seiring berjalannya waktu. Ia sadar, satu persatu orang yang ia cintai meninggalkannya. Ibu, ayah dan kini kakaknya.

Bahkan dua tahun yang lalu, kekasihnya ikut meninggalkannya. Pria yang ia anggap sebagai rumah itu, nyatanya hanya sebuah tempat singgah untuknya. Tempatnya melepas lelah namun memliki jangka waktu. Jangka waktu untuk membuatnya terpaksa pergi. Pergi dari rumahnya sendiri.

"Halo?"

"Iya bi, aku--"

"Uang dariku tidak cukup? Kau kerja apa sampai jam segini? Menjual diri? Benar, buah tak pernah jauh dari pohonnya."

Air matanya kembali menetes. Ia ingat, bagaimana ayahnya bermain wanita hanya untuk mendapat kekayaan dari wanita tersebut.

Hatinya teriris. Siapa yang harus ia benci? Ayahnya? Atau bahkan dirinya yang seharusnya tidak hadir di dunia?

Jieun berhenti tempat di tengah jembatan. Tujuannya masih cukup jauh jika ia ingin mencapai ujung jembatan ini. Atau mungkin ia sudah sampai di tujuannya?

"MAAA! BAWA JIEUN BERSAMA MAMA SAJA!" Teriak Jieun.

Air matanya masih jatuh. Membasahi pipinya.

"MAAA! KENAPA TIDAK JIEUN SAJA YANG MATI? KELUARGA KITA BUTUH MAMA, TAPI TIDAK BUTUH JIEUN!"

Tangisnya pecah. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya. Jieun hanya butuh rumah. Rumah untuknya pulang, rumah tempatnya bercerita.

Gadis yang rambutnya sudah berantakan itu kemudian berjongkok. Menelungkupkan wajahnya. Menyembunyikan tangisannya.

"Ma, maaf. Jieun sudah tidak kuat. Kita ketemu disana, ya?"

Jieun bangkit. Memegang erat sisi jembatan dan mulai menaikkan kakinya.

"Jangan."

Jieun menoleh. Melihat sosok pria yang mendekat ke arahnya. Wajahnya datar begitupun dengan ucapannya.

ViUㅡShort StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang