Meant To Be; 1

553 89 14
                                    

"Aaaarrrgghhh!!!"

Teriakan dari salah satu bilik toilet itu mengejutkan beberapa wanita yang tengah bercermin disana. Sempat menoleh singkat ke arah belakangnya, ketiga wanita yang berada disana lantas kembali memilih membenahi pakaiannya daripada harus repot-repot mengurusi orang yang ada di dalam sana.

"JIEUN! LEE JIEUN!"

Suara yang terdengar bersamaan dengan suara ketukan dan suara pintu bilik toilet yang dibuka paksa itu menjadi suara lain yang menghebohkan di area toilet wanita lantai lima.

"YA! LEE JIEUN!!"

Jieun yang berada di bilik ke empat dari lima bilik yang ada disana lantas memutar matanya singkat. Menyisir rambut serta mengusap bekas air mata yang ada di pipinya.

"Aku disini."

Setelah suara itu, suara lain yang terdengar adalah suara pintu dari bilik toilet yang terbuka. Menampilkan sosok Jieun yang berdiri diambang pintu dengan tatapan frustasi lengkap dengan penampilannya yang berantakan sebagai penunjang.

"Kau tidak apa? Ji?"

Jieun berjalan gontai menuju wastafel, tangannya sudah memutar keran berbahan alumunium itu sebelum menampung air dengan kedua telapak tangannya yang kemudian ia gunakan untuk membasuh wajahnya.

Di sisi kirinya; Yuri tampak begitu khawatir dengan sosok Jieun. Ia tau bagaiamana beban kerja yang diberikan pada Jieun akhir-akhir ini, juga dengan sikap atasannya yang beberapa hari ini tampak bersikap seenaknya.

"Gila! Pak Choi kenapa begitu, sih?"

Yuri mengusap pundak Jieun, berharap rekan kerja sekaligus teman serumahnya itu dapat tenang untuk sementara.

"Kau di pindahkan ke divisi marketing?"

Jieun mengangguk lesu. Bahkan jika detik ini ia mengingat apa kesalahannya selama kurun waktu paling lama satu bulan, ia hanya melakukan sekali kesalahan; memasukkan tiga sendok gula ke dalam kopi milik pak Choi.

"Tapi kau kan salah satu tim editor, memang dia sanggup memperkerjakan enam editor untuk 23 penulis?"

Jieun menghela napas berat. Bahkan usapan Yuri di pundaknya tak kunjung meringankan beban disana.

"Atau dia mungkin sedang menggertakmu?" Tebak Yuri.

Jieun hanya mengangkat kedua bahunya. Tidak mengambil pusing apapun yang Yuri katakan dengan aura positif.

Jika biasanya ia selalu berharap memiliki energi positif, kali ini ia hanya akan tidak percaya dengan apapun yang berbau positif.

Sesaat setelah dari toilet, Jieun kembali ke meja kerjanya. Mengambil tas yang ia gantungkan pada sandaran kursi dan menyambar singkat coat abu gelap miliknya yang kemudian ia gunakan sebagai penghangat tubuhnya saat cuaca diluar sudah mendung.

Jieun berjalan menuju halte bus yang berada di pertigaan jalan dengan jarak tempuh sekitar tujuh menit dari tempatnya bekerja. Hanya itu satu-satunya halte yang ada disana.

Matanya menatap lurus meski di dalam kepalanya berantakan. Seperti benang kusut yang mengulur lantas kembali kusut untuk menemukan dimana ujungnya; Jieun memilih duduk di halte meski bus yang harus ditumpanginya itu sudah datang.

Dua puluh menit sudah berlalu, menyisakan rintik hujan yang mulai turun membasahi area jalanan di depannya. Jieun mendengus kesal, lagi-lagi ia menganggap ini adalah salah satu kesialannya hari ini.

"Kenapa selalu hujan saat aku tidak membawa payung." Gumamnya pelan.

..

ViUㅡShort StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang