"Kirim ayah uang lima ratus ribu won."
Helaan napas terdengar bersamaan dengan suara berat di sebrang sana. Menanggapi penuh dengan rasa jenuh.
"Ini masih jam kerjaku, yah."
"Kau bisa keluar sebentar."
"Atau, pakai aplikasi bank di ponselmu. Jangan pura-pura, bodoh." Lanjut si penelpon.
"Ya." Suara itu menjadi akhir dari percakapan singkat yang mengawali tengah hari di hari senin Jieun.
Satu jam sebelum jam istirahatnya, ia harus menghadapi kenyataan jika ayahnya adalah satu-satunya alasan kenapa ia bekerja keras dan tak segan untuk mengambil beberapa penerjaan part time di mini market.
Menerima panggilan seperti itu dari ayahnya mungkin menjadi salah satu panggilan rutin Jieun tiap bulannya. Bahkan sebelum dirinya menerima upah setelah satu bulan bekerja.
Jieun berjalan keluar dari bilik kamar mandi. Menyalakan keran di depannya untuk sekadar membasahi wajahnya sebelum ia menatap dirinya sendiri di depan cermin.
Pantulan dirinya di cermin terlihat begitu mengerikan. Mata bengkak kehitaman serta rambut sebahu yang terlihat sedikit bertankan.
Usianya kini 25 tahun. Jika ia mengikuti standar yang dibuat oleh manusia, mungkin ia akan berada pada peringkat akhir kehidupan. Tidak memiliki tabungan, kendaraan pribadi, rumah pribadi, memiliki kekasih atau menikah. Tidak satupun diantara kelima hal tersebut Jieun miliki.
Ia hanya memiliki dirinya sendiri. Bersandar hanya pada dirinya dan hanya memeluk dirinya sendiri ketika bersedih.
Jika berbicara mengenai keluarganya, Jieun selalu tertawa kaku. Bukan tak ingin menceritakan mengenai keluarganya, tapi ia bingung harus menceritakan apa. Mengenai kejadian yang mengambil nyawa mendiang mamanya, ayahnya yang menikah lagi atau mengenai sang kakak yang memilih hidup di panti rehabilitasi karena depresi.
Kesadaran sudah terkumpul lagi setelah ia merasakan ponselnya bergetar karena ada pesan masuk. Pesan dari atasan yang memintanya segera ke ruang meeting untuk membahas sebuah project besar yang akan diadakan tiga bulan lagi.
"Selamat siang. Sebelumnya, terimakasih kepada rekan sekalian yang sudah datang untuk rapat mengenai pembahasan project pameran bulan Oktober."
Suaranya tak terdengar seperti ia baru saja mendengar sesuatu yang menyakiti perasaanya. Ya, Jieun selalu bisa menutupi perasaannya dari semua orang.
Tidak, tidak bermaksud untuk menjadi seorang yang munafik. Jieun hanya sadar diri, ia tak butuh kalimat motivasi ataupun untaian kalimat semangat dari seseorang. Ia hanya butuh tubuhnya dipeluk untuk beberapa saat, ia hanya butuh tubuhnya untuk diam sejenak dipelukan seseorang. Karena Jieun tau, jika tak satupun yang akan mengerti mengenai dirinya. Termasuk dirinya sendiri.
"Saya sudah bicara dengan beberapa pihak terkait mengenai pameran tersebut. Ada beberapa tempat yang menurut saya paling layak untuk dijadikan rekomendasi." Lanjut Jieun di tengah rapat.
"Kerja bagus, Ji. Aku percayakan semuanya padamu." Ujar Pak Park; atasan Jieun.
"Ini pak, beberapa daftar tempat yang menurut saya pantas dijadikan sebagai rekomendasi tempat." Ujar Jieun lagi seraya menyerahkan beberapa lembar kertas kepada atasannya tersebut.
Jieun termasuk salah satu karyawan yang begitu terkenal di perusahaan yang memiliki hampir 17 lantai itu. Bahkan hampir semua petugas kebersihan juga mengenal Jieun meski tidak tau namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ViUㅡShort Story
FanficShort story dengan berbagai genre. Cast tetap; Lee Jieun dan Kim Taehyung.