Bab 4

146 26 24
                                    

"Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku."

Musik: Kemarin by Seventeen.

***

Cahaya mentari memasuki celah jendela di sebuah kamar seorang pemuda. Dia menggeliat, sedikit memiliki kesadaran yang dia manfaatkan hanya untuk membenarkan kembali selimutnya, lantas kembali tertidur, menyambung mimpi.

Tak lama kemudian seorang perempuan membuka kamarnya, melihat anaknya yang tertidur pulas membuat senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai menua.

"Bunda tidak pernah melihatmu tidur sepulas ini sejak kematiannya ... Bunda harap kau bahagia, Rikh. Kau tidur saja. Cepat sembuh ya," ungkapnya sebelum menutup kembali pintu kamar.

Sepuluh menit kemudian Farikh membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya yang dipenuhi tempelan bintang-bintang dan planet yang glow in the dark membuatnya tersenyum tipis, dia memang menyukai segala sesuatu tentang tata surya.

Farikh mengambil gadget yang ia letakkan di samping bantalnya, matanya melotot saat melihat jam di gadgetnya. Pukul tujuh pagi. Farikh refleks melempar selimutnya, melompat dari ranjang. Namun saat kaki kanannya menapak pada lantai keramik, dia merasakan kakinya seolah-olah patah, hingga membuatnya keseimbangannya goyah dan Farikh tersungkur di lantai.

Farikh refleks berteriak. Dia hampir lupa kalau kakinya sedang keseleo, walaupun bundanya kemarin sudah mengobatinya bahkan sempat membawanya ke tukang pijat, tapi kaki Farikh malah bertambah sakit, bukannya sembuh. Kata bundanya, memang hal seperti itu biasa terjadi, nanti juga sembuh sendiri.

Suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar, lantas pintu kamar terbuka. "Ada apa Farikh? Astaga! Kenapa kau sampai terjatuh?"

Bunda Farikh menghampiri Farikh dengan langkah tergesa-gesa, dia membantu Farikh duduk di tepi ranjang. Farikh meringis tiap kali persendian kakinya tergeser, dia tidak tahu kalau keseleo bisa sesakit ini.

"Aku tidak apa-apa, Bun, aku kan kuat," ucap Farikh. "Kenapa Bunda tidak membangunkanku? Aku jadi terlambat sekolah."

Bunda mengelus pelan surai gelap Farikh, potongan rambut yang tidak rata masih setia menggantung di sana. "Bunda tidak tega membangunkanmu yang tertidur pulas, lagi pula badanmu tidak enak, lebih baik di rumah. Tenang saja, Bunda sudah mengirim surat ke sekolah."

Farikh mengangguk-angguk. "Terima kasih, Bun."

Farikh mengamati ekspresi bundanya, wajah itu tampak menyembunyikan sesuatu. Bunda mencoba menyembunyikan wajah cemasnya.

"Kenapa Bunda tidak bekerja? Apa pasiennya sedang libur?" tanya Farikh.

Bunda seorang psikiater di rumah sakit terkenal di kotanya, dia sangat sibuk, tidak mungkin jika bundanya meliburkan diri tanpa alasan yang jelas.

Bunda tampak berpikir. "Bunda libur dulu hari ini, Farikh lagi sakit."

Farikh mengerutkan dahinya, tidak mungkin Bunda tidak kerja hanya karena anaknya keseleo, pasti ada masalah lain, mungkin semalam terjadi sesuatu pada Farikh, karena dia tidak mengingat apa yang terjadi pada dirinya setelah pulang sekolah.

"Aku hanya keseleo, Bun. Tidak mungkin hanya itu kan alasannya? Pasti ada masalah lain yang penting."

"Walau hanya keseleo, kau tetap sakit, kau anak Bunda satu-satunya, tidak ada yang menjagamu di rumah, Papa sudah seminggu ke luar kota, siapa lagi yang bukan menjagamu kalau bukan Bunda?" Bunda duduk di dekat Farikh.

"Tapi kalau keseleo kenapa Bunda sekhawatir itu? Apa semalam, PTSD-ku kambuh lagi, Bun? Karena aku tidak bisa mengingat apapun," ujar Farikh.

Ekspresi Bunda terlihat terkejut. "Farikh tidak ingat kejadian semalam?"

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang