Bab 42

45 9 0
                                    

"Halo?" Farikh mendekatkan ponsel di telinga kirinya.

"Halo, Farikh? Kau sudah mengingatku kan? Aku Farel. Aku tahu kalau ingatanmu sudah kembali," ujar Farel di seberang sana.

"Iya, aku ingat," kata Farikh.

"Aku tidak punya banyak waktu. Di gedung lama lantai tiga, kamar 701, tempat yang katamu ada hantunya. Aku di sini. Tolong aku, ayahku menculikku," ujar Farel panjang lebar.

Farikh mengerutkan kening, tidak paham. "Hei, apa maksudmu? Ayahmu ... menculikmu?"

"Iya, ayah satu. Aku tidak punya banyak waktu, tolong aku. Dengarkan aku baik-baik dan ingat." Farel terdiam sebentar, lantas terdengar suara benda jatuh dan napas pemuda itu terengah-engah.

"Kau kenapa? Farel?" Wajah Farikh berubah jadi khawatir.

"Jangan lama-lama kalau kemari kalau tidak dia membuatku terjebak selamanya dan bisa saja, walau tidak ingin, aku terbunuh. 4322521 dengan beberapa perubahan."

Lantas panggilan terputus sebelum Farikh mengeluarkan kebingungannya. Farikh saat itu mencoba menelepon Farel lagi, tetapi nomornya sudah tidak aktif. Farikh bahkan tidak paham kode angka yang diberikan Farel.

***

Arumi terdiam tatkala suara rekaman panggilan telepon Farikh dan Farel berakhir. Arumi memandang Farikh. "Apa dia mengirim kode? Kau tahu apa maksudnya?"

Farikh menggeleng. "Aku sudah memikirkannya sejak tadi, tapi belum menemukan apapun. Kodenya terlalu sulit."

Arumi membuka tasnya, dia mengambil selembar kertas dan pena. Arumi menaruh kedua benda itu di meja. "Berapa nomernya tadi?"

"4322521," jawab Farikh, dia sudah hafal di luar kepala.

Arumi menuliskan nomor yang Farikh ucapkan. Dia memandang nomor-nomor itu, berpikir keras. "Apakah ini sebuah password?"

"Kurasa bukan." Farikh mengambil pena yang ada di tangan Arumi, dia mencoret kata 'password' yang ada di kertas. "Password yang ada di pintu-pintu biasanya enam digit, dan angka itu tujuh digit. Lagi pula gedung itu sudah lama terbengkalai, pintu-pintu yang bersandi seperti itu sudah rusak, malahan banyak pintu yang sudah hilang."

"Kau sepertinya mengenal baik tempat itu? Kau pernah ke sana?" tanya Arumi, pandangannya yang semula tertuju pada kertas, kini dialihkan ke Farikh.

Farikh mengangguk. "Aku pernah ke sana karena kalah saat main game sama Farel, dan sebagai hukumannya, aku harus ke tempat seram itu saat malam dan Farel ada di luar, katanya jaga-jaga kalau aku pingsan."

"Kau beneran ke sana saat malam-malam?" tanya Arumi.

Farikh mengangguk. "Mau bagaimana lagi? Aku kalah. Aku takut sekali waktu itu, aku hampir mati di sana. Ngomong-ngomong, aku takut hantu."

Farikh melirik Arumi yang sepertinya mati-matian menahan tawanya. "Tertawa saja."

Arumi terbahak. "Aku tidak menyangka orang sepertimu takut hantu."

Farikh memasang wajah datar. Dia menunggu sampai Arumi berhenti tertawa. "Sudah puas ketawanya? Sekarang tolong aku."

"Kau minta tolong apa?"

"Kita harus menolong Farel. Ayo kita buat rencana dan menolongnya nanti malam. Aku harap kau bisa meminjam alat-alat pengintai milik ayahmu," ujar Farikh.

"Malam ini? Apa kita tidak perlu memberi tahu orang dewasa atau polisi?"

Farikh menggeleng. "Tidak perlu, orang dewasa terlalu ribet. Aku janji tidak akan lama, setelah menyelamatkan Farel aku langsung kembali. Tidak perlu membuat orang-orang khawatir."

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang