Bel istirahat berbunyi, Bu Dina meminta bantuan ketua kelas untuk membawa buku tulis sejarah milik teman-teman Farikh agar dibawa ke ruang guru, Farikh tentu tidak bisa menolak permintaan itu, walaupun buku-buku itu tebalnya bukan main.
“Aku duluan ya,” ujar Farikh pada Farel.
Farel menoleh. “Beneran nggak mau dibantuin?”
“Kau makan saja agar tidak kurus,” jawab Farikh dengan wajah datar yang mana membuat Farel gemas sendiri.
Farikh mengangkat buku yang ada di meja, jumlahnya sekitar empat puluh. Tangan kanannya yang dibaluti kasa terasa nyeri saat mengangkat buku sebanyak itu.
Farikh hampir mengumpat. “Kenapa masih perih?”
Tangan seseorang mengambil setengah buku yang ada di tangan Farikh. Pemuda itu menoleh dan mendapati Arumi yang membawa setengah buku itu.
“Tanganmu masih sakit, jangan sok jagoan dengan menolak bantuan Farel,” ujarnya.
Farikh tersenyum tipis sembari berjalan di sebelah Arumi. “Makasih.”
Arumi menoleh sekilas, mengangguk. “Tapi jangan salah paham, aku juga ada urusan di kantor guru, jadi sekalian.”
“Apapun alasannya, terima kasih,” ujar Farikh.
Sejenak pemuda itu berpikir, Arumi sulit ditebak, terkadang gadis itu sangat peduli padanya seperti seorang peri, tetapi kadang sangat dingin seperti ada dinding es tebal yang menyelimuti hatinya. Perasaan manusia memang serumit itu, terlebih lagi jika manusia itu seorang wanita.
Selesai menaruh tumpukan buku di meja Bu Dina, Farikh keluar dari kantor guru, dia menoleh sekilas dan mendapati Arumi yang sedang menghampiri Pak Hari, lantas mereka bercakap-cakap dan Arumi menunjukkan sesuatu di lembaran yang dibawanya. Mungkin Arumi tanya ke Pak Hari tentang soal-soal yang tidak dipahaminya.
Farikh mampir ke kantin sebentar, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin, seharusnya Farel ada di kantin sekarang, kalau tidak ada berarti Farel tidak ke kantin. Farikh mengangkat bahu, dia membeli dua kaleng minuman cokelat dingin di mesin otomatis yang ada di kantin. Satu untuknya dan satunya lagi untuk Farel, temannya yang sekarang mager itu.
Farikh membuka kaleng minumannya sembari menyusuri jalan yang berada di dekat taman. Dia menyesap pelan minumannya, matanya tidak sengaja melihat Rikha dan Aran yang ada di taman, mereka sedang menanam sesuatu, mereka terlihat bahagia apalagi saat Rikha tertawa lepas.
Farikh memperhatikan apa yang dilakukan Rikha dan Aran cukup lama sembari menyesap minumnya, Rikha telah mencuci tangannya dan sekarang Aran sepertinya sedang mencuci tangannya sekarang, di sana hanya ada Rikha.
“Andi! Kau mau ke kelas?” tanya Farikh pada Andi yang kebetulan lewat.
“Iya, kenapa?”
“Tolong berikan minuman ini pada Farel,” ujar Farikh lantas dia melempar minuman kaleng dan ditangkap Andi dengan sigap. “Makasih.”
Andi tersenyum tipis dan melambaikan tangan.
Farikh berjalan santai ke arah taman, tangan kanannya dia masukkan ke saku celana dan tangan kirinya memegang minuman kaleng yang barangkali tinggal separuh. Rikha berdiri membelakanginya, Farikh tidak tahu pasti apa yang dilakukan gadis itu, mungkin memandangi bunga-bunga sembari tersenyum.
“Kau masih bisa tersenyum setelah membunuh seseorang?” tanya Farikh dengan nada sarkas.
Kakak kelasnya itu membalikan badan, wajahnya terlihat terkejut. Farikh tahu betul wajah khas itu, Farikh tidak pernah bicara kasar pada perempuan manapun, dan ini pertama kalinya ia berbicara dengan nada sarkas kepada perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Lovers [TERBIT]
Teen Fiction[Tersedia di Shopee dan Tokopedia] "Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku." Farikh sangat menyayangi Kak Rena, tapi Tuhan lebih menyayangi Kak Rena. Hingga suatu hari, dia dipertemuk...