"Ah, sudah jam delapan lebih," ucap Farikh sembari melihat jam tangan pinjamannya. "Aku terlalu lama."
Farikh membereskan lembaran-lembaran yang berserakan di lantai dan memasukkannya ke dalam tas. Dia berdiri, membersikan celananya yang kotor karena dari tadi lantai gedung tua yang dia duduki berlumut dan berdebu—mungkin, karena Farikh tidak terlalu memperhatikan.
Waktu sejam lebih itu dia habiskan untuk menyusun rencana lebih matang karena dia berhasil menemukan sesuatu yang menarik di pesan Farel. Farikh sudah mempersiapkan segalanya agar semua rencananya berhasil.
Farikh meniti anak tangga satu per satu hingga sampai di lantai tiga—tempat di mana Farel diculik. Farikh tiba-tiba merinding saat matanya melihat sekeliling, dengan cahaya remang-remang dan atmosfer aneh yang mengelilingi tempat itu. Farikh curiga jika lantai tiga ini digunakan hantu untuk pesta.
"Seharusnya aku bawa senter," gumam Farikh.
Farikh menelan ludah gusar. Matanya mencoba fokus mencari-cari nomor kamar yang dibilang Farel tadi, keadaan tidak mendukung karena gelap dan nomor-nomor yang tertempel di kamar-kamar sebagian besar sudah hilang.
Farikh mencoba untuk tidak melirik lorong-lorong gelap karena dia takut akan ada sesuatu di sana. Selain laba-laba dan tikus, hantu masuk daftar sesuatu yang Farikh takuti. Seharusnya misi menyelamatkan Farel menjadi sesuatu yang keren seperti film action, bukannya film horor yang tokoh utamanya takut hantu seperti Farikh.
"700," gumam Farikh saat melihat nomor yang tertempel di pintu. "Seharusnya Farel ada di kamar sebelah, tapi sebelah kamar ini lorong."
Farikh berbalik, matanya mengernyit membaca tulisan di pintu. "Ah, kamar 701."
Farikh mendorong pelan pintu membuat suara krieet terdengar. "Eh? Tidak dikunci?"
Pemuda itu melangkahkan kaki masuk ke ruangan dan menutup kembali pintu. Tidak seperti dugaannya, ruangan 701 itu terang, kontras dengan keadaan luar, juga kondisi ruangan itu yang bersih semakin memperkuat perkiraan Farikh jika seseorang telah tinggal di sini.
Farikh mengaktifkan mode komunikasi, dia lupa mengabari Arumi, gadis itu pasti sangat menghawatirkannya.
"Hei Farikh! Kau tidak apa-apa kan?" Suara Arumi terdengar.
"Aku tidak apa-apa. Aku sekarang ada di ruangan 701, tapi Farel sepertinya tidak ada di sini," ucap Farikh.
Farikh mencari Farel di sekitar ruangan itu, tetapi dia tidak melihat siapa-siapa. Pemuda itu lantas membuka kamar-kamar yang ada di ruangan itu dan matanya menangkap sebuah tulisan yang ada di pintu salah satu kamar.
Arumi berbicara panjang lebar di seberang sana, tetapi Farikh tidak terlalu mendengarkan. "Aku matiin dulu ya, nanti aja."
Farikh menekan sensor yang ada di earpods-nya membuat suara Arumi seketika lenyap.
"Kamar 701," gumam Farikh. "Oh, jadi maksud Farel itu kamar yang ini? Bukan ruangan 701."
Farikh buru-buru membuka pintu kamar yang lagi-lagi tidak dikunci. Farikh merasa sedikit janggal di sini, mana ada penculik yang membuka semua pintu di saat dia menculik seseorang. Kata Arumi orang yang menculik Farel dengan orang yang dulu menculik Farikh saat kecil itu sama, tetapi kenapa Farikh dulu bahkan tidak diberi cahaya sedikitpun dan ruangannya saat itu pabrik tak terpakai yang bau? Berbeda sekali dengan ruangan ini. Bukan maksudnya Farikh ingin Farel juga diperlakukan seburuk Farikh waktu itu.
Pandangan Farikh menyisiri seluruh penjuru kamar dan dia menemukan Farel yang ada di pojokan, tangan dan kakinya sama-sama diikat dan mulutnya disumpal pakai kain. Farel menunduk, entah dia tidur atau bagaimana. Farikh menghela napas lega, untung saja Farel tidak terluka sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Lovers [TERBIT]
Teen Fiction[Tersedia di Shopee dan Tokopedia] "Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku." Farikh sangat menyayangi Kak Rena, tapi Tuhan lebih menyayangi Kak Rena. Hingga suatu hari, dia dipertemuk...