Saat Farikh terbangun hal pertama yang dirasakannya ialah rasa sakit yang teramat sangat di sekujur badannya, pandangannya masih buram, ia tidak bisa melihat apapun selain kekosongan. Sayup-sayup dia mendengar suara Bunda, lantas Farikh merasakan tangan seseorang menyentuh kelopak matanya dan sebuah cahaya kuning mengenai matanya. Perlahan pandangannya menjadi jelas.
Hal pertama yang dilihatnya adalah muka kedua orang tuanya yang tersenyum lebar, walau mata mereka memerah seperti habis nangis—Bunda yang lebih parah. Mereka berbicara sesuatu, Farikh tidak bisa mendengar dengan jelas, jadinya dia tidak menanggapi apa-apa.
Farikh memandangi sekeliling. Langit-langit kamar yang berwarna putih polos, alat-alat kedokteran, punggung tangannya yang ditusuk infus dan wajahnya yang diberi masker oksigen. Farikh bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi padanya hingga dia bisa masuk rumah sakit.
Farikh mencoba menggerakkan anggota geraknya, tetapi kaki dan tangan bagian kanannya susah sekali digerakkan. Farikh sedikit menunduk untuk melihat tangan kanannya, dia terkejut bukan main saat mendapati tangannya itu dibaluti perban dan tangannya dikasih benda berwarna biru yang menyambung ke lehernya, benda itu seperti kain biasa dan berfungsi untuk menopang tangannya. Farikh lupa nama benda itu, tetapi benda itu digunakan oleh orang yang mengalami patah di tangannya.
Apa yang terjadi padaku?
Farikh mencoba mengingat-ingat apa yang dilakukan terkahir kali sebelum tak sadarkan diri. Namun ia tak melihat apa-apa, yang dia ingat adalah bahwa hari ini ulang tahunnya, Rena meneleponnya dan mengatakan bahwa dia akan datang ke rumah Farikh untuk memberinya hadiah.
Dokter memeriksa Farikh, pemuda itu hanya diam. Dia melirik sekitar, tidak sadar jika tiba-tiba di ruangan itu ada banyak orang daripada saat dia bangun tadi. Bagaimana mereka ada di sini?
“Apa Farikh dari tadi seperti itu?”
Suara seorang perempuan membangunkan Farikh dari lamunannya. Farikh menoleh pelan pada sumber suara, dia melihat Rena di sana. Farikh mencoba bersuara, tetapi yang keluar hanya erangan pelan.
“Farikh? Kau tidak apa-apa?” tanya Rena pelan.
Farikh mengangkat kedua sudut bibirnya. Dia mencoba mengeluarkan suaranya. “Kak ... Rena? Kau sudah ... datang, aku menunggumu ... dari tadi.”
Mereka tampak terkejut dengan ucapan Farikh. Memangnya kenapa jika Farikh menunggu Rena? Kenapa orang-orang jadi aneh? Farikh tidak habis pikir.
Selain ada Rena, di ruangan itu ada beberapa orang yang tidak Farikh kenal. Salah satunya adalah Arumi, gadis yang katanya adiknya Rena. Lalu ada pemuda tinggi yang satu sekolah dengan Rena, namanya Aran.
Farikh terkejut saat dia melihat Ferel di sana. Ingatan masa kecilnya samar-samar muncul saat Ferel dibawa dengan ambulans, waktu itu ada pisau di perutnya. Farikh tidak menyangka jika dia bisa bertemu lagi dengan Ferel. Berarti waktu itu dia selamat.
Satu hal yang membuat Farikh bertanya-tanya. Apa Ferel tidak suka jika dia memanggil namanya? Karena saat Farikh memanggil nama Ferel, pemuda itu tampak terkejut dan dia kelihatan emosi, ia membisikkan sesuatu pada Arumi dan keluar ruangan dengan membanting pintu.
Perasaan, aku salah terus, batin Farikh.
Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan kamar Farikh hingga tersisa Bunda dan seorang dokter muda. Saat Farikh membaca name tag-nya, nama dokter itu Lubis, dia katanya masih magang saat Farikh tadi iseng bertanya.
Bunda mengelus pelan surai Farikh. Matanya yang teduh menatap Farikh. “Farikh dibius dulu ya, dokter mau memeriksa kepala Farikh.”
Farikh mengangguk. Pemuda itu sebenarnya juga bosan hanya tidur, tadi kata Bunda dia koma selama dua minggu dan kini sudah bangun. Namun dia disuruh tidur lagi. Lebih baik Farikh tidur selamanya saja, dia lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Lovers [TERBIT]
Teen Fiction[Tersedia di Shopee dan Tokopedia] "Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku." Farikh sangat menyayangi Kak Rena, tapi Tuhan lebih menyayangi Kak Rena. Hingga suatu hari, dia dipertemuk...