Bab 29

33 9 0
                                    

Arumi akhirnya bisa menemui Farikh walaupun masih ada kedua orang tua Farikh di dalam sana, Anna sendiri yang meminta agar teman-teman Farikh masuk ke ruangan Farikh.

Lubis tidak ada di ruangan Farikh, dia sudah sibuk kembali. Memang kehidupan per-koasan tidak mudah, padahal Lubis tadi terlihat sangat lelah dan dia butuh istirahat tapi dia harus kembali bekerja. Itulah mengapa Arumi tidak ingin menjadi dokter, ia ingin mengikuti jejak ayahnya yang menjadi seorang detektif.

Rikha dan kedua orang tua Farikh bercakap-cakap, mereka duduk di kursi tunggu yang ada di dalam ruang inap—Arumi baru mengerti jika ada ruangan sebagus ini, mungkin saja ruangan Farikh itu VIP. Dia hampir lupa jika Farikh anak orang kaya.

Rikha dengan semangat tanya-tanya soal kedokteran pada papanya Farikh dan sesekali Anna ikut menyahut, dia sama saja dengan kakaknya, Lubis. Sedangkan Aran, dia duduk tak jauh dari mereka, sesekali dia juga tanya-tanya tentang Farikh. Aran sepertinya tidak terlalu menyukai topik tentang kedokteran.

Dan di sinilah Arumi, dia menyeret kursinya agar dekat dengan Farikh. Ia memandang wajah Farikh. Wajah pemuda itu pucat dan hampir saja dia menjadi mumi apalagi dengan kepala, tangan dan kakinya yang diperban. Farikh menggunakan alat bantu pernapasan, di sebelah brankarnya ada alat yang bisa berkedip-kedip dan menunjukkan garis naik-turun.

Lantas pandangan Arumi berganti pada tangan kanan Farikh yang diperban karena tulangnya retak dan kaki kanannya yang juga mengalami hal serupa. Terbesit dalam pikiran Arumi sebuah kekhawatiran, bagaimana jika Farikh tidak bisa berjalan lagi? Dan bagaimana jika saat Farikh bangun nanti dia tidak mengingat Arumi? Bagaimana jika dia mengalami gegar otak? Atau pemikiran yang lebih buruk lagi ... bagaimana jika Farikh tidak lagi membuka matanya?

Arumi meraih tangan kiri Farikh yang diinfus, dia mengelus pelan tangan Farikh. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia menundukkan kepala dan menangis dalam diam.

“Bodoh, kenapa aku merasa sangat kehilanganmu? Padahal kau bukan siapa-siapaku,” gumam Arumi sembari menatap wajah Farikh.

“Kenapa kau suka sekali tidur, Ketua Kelas? Tidak di kelas, tidak di sini. Bangunlah, nanti siapa yang akan mengantikanmu jadi ketua? Jangan mengharapkan Andi, dia wakil ketua yang buruk.” Arumi menghela napas. “Bangunlah, kalau kau tidak bangun, rivalmu ini akan merebut posisi peringkat satu di kelas. Bangun dan ayo kita berdebat lagi.”

“Kau memang menyebalkan, tapi aku merindukanmu,” ucap Arumi.

Arumi buru-buru melepas tangan Farikh karena orang tua Farikh, Aran dan Rikha duduk di sebelahnya.

“Kau teman sekelasnya Farikh ya? Kalau tidak salah namamu Arumi, Farikh sering cerita tentangmu.” Ardi mengawali pembicaraan.

“Iya, Paman,” jawab Arumi.

“Sepertinya kau familier, apa kita pernah bertemu?” tanya Ardi, Anna juga diam-diam tertarik.

“Mungkin pernah sekali, tapi Paman tidak sadar. Waktu itu tanggal dua puluh lima Februari di rumah sakit lain, saat ada kecelakaan dua gadis, dan yang meninggal itu kakakku. Dan yang masih hidup bisa Paman lihat sendiri.” Arumi menunjuk Rikha.

Semua orang terkejut, apalagi Rikha. Arumi tidak bisa membaca ekspresi Rikha yang campur aduk, entah apa yang ada di pikirannya.

“Ah, kau gadis kecil yang bijaksana itu, aku hanya bisa mengingat Lubis, dia sekarang bisa menjadi dokter seperti keinginannya.” Ardi menyentuh pelan bahu Arumi. “Maaf ya tidak bisa menyelamatkan kakakmu.”

Arumi menggeleng. “Bukan salah Paman, hanya saja ... itu memang takdir kakakku.”

Ardi tersenyum tipis.

“Kami sudah melaporkan kasus Farikh pada polisi, mungkin mereka sebentar lagi ke sini. Tapi sebelum itu, bukankah Arumi saksi kunci pada kecelakaan ini? Arumi bisa tolong ceritakan apa yang Arumi lihat saat itu sebelum menceritakannya pada polisi?” tanya Anna lembut.

Arumi mengangguk.

Dia mulai menceritakan kejadian kecelakaan itu dengan lengkap dan detail seperti apa yang dilihatnya.

“Kurasa kasus ini bukan karena kelalaian pengendara, tapi mobil merah itu sepertinya sengaja membunuh Farikh.” Arumi menyimpulkan setelah bercerita panjang lebar.

Napas Anna tercekat, ia memandang wajah suaminya dan bergumam, “Apa dia kembali?”

“Aku melewatkan satu hal,” ucap Arumi membuat atensi orang-orang mengarah padanya.

“Di mobil yang menabrak Farikh, aku melihat Farel ada di sana. Dia teman sekelas kami dan kebetulan sahabat Farikh.”

“Farel?!” tanya Aran dan Rikha kompak.

Arumi menoleh dan mengangguk. “Iya, Kak.”

“Maksudmu ... Farel yang anak futsal itu? Eh, tidak mungkin, kenapa dia ada di sana?” Aran menggelengkan kepala.

Arumi mengedikkan bahu, dia juga tidak tahu alasan keberadaan Farel disana.

***

Arumi sendirian di kamar inap Farikh, kedua orang tua Farikh sibuk dengan pihak kepolisian yang baru saja datang. Rikha dan Aran sudah kembali ke rumahnya sesuai dengan anjuran Bunda, walau sebenarnya Arumi juga disuruh pulang.

Namun dia ingin tetap di sisi Farikh. Bukan karena dia memiliki rasa lebih terhadap pemuda itu, hanya saja Arumi merasa bersalah karena membiarkan Farikh terluka.

Sebenarnya Arumi sedikit trauma karena baru pertama kali dalam hidupnya, dia menyaksikan secara langsung kecelakaan yang hampir saja merenggut maut. Arumi tidak akan memaafkan orang yang sengaja menabrak Farikh karena kelakuannya itu sungguh keterlaluan.

“Kau tidak capek tidur terus, Rikh?” Arumi memandang wajah Farikh. “Besok ulangan fisika loh, kalau kau tidak bangun aku akan merebut posisi nomor satu di kelas. Kau rela posisimu tergeser?”

Arumi terkekeh. “Aku gila ya ngomong sendiri?”

Sementara di depan kamar inap Farikh, kedua orang tua Farikh berbincang-bincang dengan seorang detektif dari kepolisian di kotanya. Ardi menceritakan semua yang dia dengar dari Arumi dan ia juga mengatakan bahwa memiliki saksi kunci yang bisa berbicara.

“Aku hanya takut jika Adam yang melakukan hal ini pada Farikh,” ucap Anna.

Detektif yang bernama Reza itu mengernyitkan dahi. “Maksud Anda Adam Alfiyan? Orang yang telah menculik Farikh dulu.”

“Kita tidak boleh sembarang menuduh tanpa ada bukti, dia tidak mungkin melakukan hal itu tanpa suatu alasan yang jelas. Aku yakin itu,” ujar Ardi pada Anna.

“Kenapa Anda begitu yakin?” tanya Reza.

“Karena kami dulunya sahabat.”

Reza terdiam, dia menemukan fakta baru. Entah apa yang terjadi di masa lalu hingga Adam tega menculik anak sahabatnya sendiri, tetapi entah apapun masalahnya, ia tidak boleh ikut campur lebih dalam dengan masalah kliennya.

“Baiklah. Sebelum itu bisakah kita menemui saksi dulu? Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan.”

Anna mengangguk, ia mengajak Reza ke kamar inap Farikh, diikuti Ardi di belakangnya. Di dalam kamar itu, Arumi masih duduk di kursi dan memandangi wajah Farikh. Dia membelakangi pintu, jadi Anna tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi gadis itu.

“Permisi, bisa kita bicara sebentar?” ucap Reza.

Arumi menoleh, dia terkejut dan refleks berdiri. Wajah Reza juga tak kalah terkejutnya layaknya gadis yang ada di depannya itu hantu alih-alih seorang saksi yang sedang dicarinya sedari tadi.

“Papa?” tanya Arumi.

Reza menghela napas. “Jadi ... anakku saksinya?”

Kamis, 20.08.20

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang