Bab 21

42 10 0
                                    

Kini Aran, Rikha, Farikh dan Arumi duduk di ruang BK. Di depan mereka, keempat guru tadi duduk, memasang wajah serius, guru wanita yang tidak Farikh ketahui namanya itu-ia juga tidak tahu nama guru-guru lainnya-membawa sebuah buku seperti catatan nama-nama anak yang pernah singah di sini.

"Sebutkan nama lengkap dan kelas kalian," ucap bu guru sembari tangannya bersiap-siap menulis di buku itu.

"Saya Aranda Rizki, dari kelas XII IPS 2," ucap Aran, mendahului lainnya.

"Saya Rikha Amalia Putri, kelas XII IPA 3," ujar Rikha pelan.

Bu guru mengangkat kepala saat Arumi tak kunjung menyebutkan namanya. "Siapa namamu?"

"Saya juga, Bu? Saya hanya melapor, Bu, bukan saksi, korban ataupun pelaku, seharusnya pelapor tidak perlu diinterogasi seperti ini, Bu." Arumi enggan memberitahukan namanya.

"Ini sekolah, bukan kantor polisi, lagipula saya tidak menginterogasi kamu, saya hanya tanya nama dan kelas," ujar bu guru itu.

Arumi menghela napas jengah, hendak mengeluarkan jurus penolakan lain tetapi Farikh menyenggol pelan lengannya, dia berbisik, "Jangan membantah lagi."

"Namanya Arumi Safitri, Bu. Dan saya Ahmad Farikh Ferdinata, kami dari kelas X IPA 1," ucap Farikh, mewakili Arumi yang enggan diinterogasi oleh guru-guru BK.

"Kenapa kalian bertengkar? Apalagi Aran, kau yang lebih dewasa di sini, tidak seharusnya kau menggunakan kemampuan silatmu untuk menyakiti orang lain." Salah satu guru laki-laki membuka sesi instogasi.

Aran hanya diam, ia menundukkan kepala, Farikh tidak tahu apa yang dipikirkan kakak kelasnya itu.

"Rikha, siapa yang memulai pertengkaran ini? Dan kenapa alasannya? Saya tahu kamu berada di sana sebelum pertengkaran," ujar guru itu lagi.

"Saya yang memulai, Pak," Aran yang menjawab. "Dia yang membuat Rikha menangis dan mengatakan bahwa Rikha seorang pembunuh."

Guru laki-laki itu memijit keningnya, kasus yang ia hadapi sebenarnya simple, tetapi apa maksudnya dengan mengatakan Rikha seorang pembunuh.

"Entah apa yang kalian ributkan, saya merasa kecewa dengan kalian. Apalagi Aran, kau itu atlet andalan dan kebanggan sekolah." Guru itu memandang Aran, lantas pandangannya beralih pada Farikh. "Kau bukannya Farikh yang direkomendasikan Pak Hadi untuk ikut olimpiade kimia?"

"Iya, Pak," jawab Farikh pelan.

"Kudengar kau murid yang pintar, semua nilai ulanganmu di atas sembilan puluh lima. Namun, apa yang kau lakukan ini membuat kami kecewa, bertengkar dengan kakak kelas sendiri," lanjut guru itu.

"Saya hanya manusia yang tidak sempurna, Pak, wajar saja jika saya berbuat kesalahan. Saya juga tidak ingin sekolah menganggap saya anak andalan dan anak kebanggan, gelar itu seperti beban untuk saya." Farikh berusaha menjawab dengan sesopan mungkin.

"Saya tahu," guru perempuan itu menyahut. "Kami tidak akan melanjutkan karena kalian sudah besar, kalian bisa menyelesaikan masalah kalian dengan damai tanpa adu jotos."

Arumi menghela napas lega, dia bergumam pelan, "Akhirnya bisa keluar dari ruangan ini."

"Tapi, kalian akan tetap mendapatkan hukuman. Farikh dan Arumi membersihkan lapangan basket setelah pulang sekolah, dan untuk hukuman Aran dan Rikha ... kalian membersihkan lapangan futsal yang terbuka."

"Pak, saya juga harus dihukum?" tanya Arumi tidak terima.

Guru itu mengangguk.

"Demi apapun! Saya tidak salah apa-apa dan sekarang harus menjalani hukuman?"

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang