Farikh diperbolehkan pulang setelah beberapa hari menginap di rumah sakit. Farikh belum bisa berjalan karena retakan di tulang kakinya belum sembuh, jadi dia memakai kursi roda, terkadang Farikh nekat memakai tongkat karena menggunakan kursi roda terkadang ribet juga.
Bunda belum mengizinkan Farikh sekolah, katanya Farikh harus sembuh total baru boleh sekolah, padahal Farikh sudah bosan di rumah. Rutinitasnya akhir-akhir ini hanya di rumah, sesekali ke rumah sakit untuk terapi.
Saat di rumah sakit waktu itu, Farikh tanya kenapa dia sampai koma seperti itu dan bagaimana dia bisa mendapat luka sebanyak itu. Bunda tidak cerita secara detail, dia hanya bilang kalau Farikh ditabrak mobil. Hanya itu, bahkan Farikh tidak ingat kapan dia ditabrak.
“Ah, susahnya,” gerutu Farikh.
Dia sekarang duduk di meja belajarnya. Menatap buku tulisnya dan beberapa kalimat yang ada di sana. Tangan kanan Farikh masih sakit, kata dokter, tulangnya patah. Farikh hari ini mencoba menulis menggunakan tangan kiri, dan hasil tulisannya seperti cakar ayam.
Farikh tertawa melihat tulisannya sendiri. “Ih, jelek banget! Bukan Farikh style ini namanya.”
Farikh menunduk, menatap tangannya yang diperban dan kini ada digendongannya, Farikh tidak tahu nama kain berwarna biru itu.”Kapan tanganku sembuh?”
Farikh menatap tulisannya yang tampak jelek itu. Dia tidak bisa tinggal diam saja melihat keanehan yang terjadi belakangan ini. Dia mulai menulis semua keanehan yang dialaminya, seperti kenapa kamarnya tiba-tiba berubah, lalu seingatnya buku pelajarannya tidak sebanyak itu.
Suatu hari Bunda pernah berkata pada Farikh kalau dia mengalami amnesia. Bunda perlahan cerita kalau Farikh itu sudah SMA dan dia sekelas sama Arumi—pantas saja Farikh merasa familier mendengar teriakan gadis itu yang menagih uang kas, mungkin dia bendahara kelas.
“Kenapa aku bisa amnesia, Bun?” tanya Farikh waktu itu.
Bunda diam lantas tersenyum tipis. Dia mengelus pelan belakang kepala Farikh. “Biarkan ingatanmu perlahan kembali, kalau Bunda cerita semuanya nanti kepalamu sakit.”
Farikh mengangguk, Bunda melanjutkan, “Kalau sakit, jangan memaksakan ingatanmu.”
Farikh menatap boneka minion yang tergeletak di ranjangnya. Boneka itu hadiah yang diberikan Rena saat Farikh berada di rumah sakit. Mengingat kejadian itu, Farikh tertawa. Memang benar kata Arumi, Rena sangat buruk dalam memilih hadiah. Bukankah aneh jika memberi hadiah boneka pada laki-laki?
“Tapi biasanya Kak Rena nggak seperti itu, dia biasanya paling pintar memilih kado,” gumam Farikh. “Dia suka memberi hadiah yang aneh.”
Farikh masih ingat saat hari ulang tahun Farikh setelah mereka jadian, Rena memberikan hadiah trophy pada Farikh dengan tulisan “My Best Boy Farikh” di sana. Aneh memang, Rena lebih suka memberi sesuatu yang ada nilai kenangannya daripada sesuatu yang umumnya diberikan pada seorang pacarnya.
Sekarang Farikh sendirian di rumah, Papa dan Bunda ada di rumah sakit. Biasanya Arumi dan Rena datang, mungkin setelah ini mereka datang. Farikh menutup buku tulisnya dan dia tidak sengaja melihat buku kenangannya yang tergeletak di meja belajar. Sejak Farikh kembali dari rumah sakit, dia belum membuka buku itu.
Dia memutuskan untuk mengambil buku itu dan turun ke bawah. Buku itu dia taruh dipangkuan dan menekan tombol di gagang kursi rodanya. Beberapa menit kemudian Farikh sampai di ruang tamu. Dia sekalian menunggu orang tuanya pulang.
Farikh membuka buku itu, membaca sekilas tentang pertemuannya dengan Rena yang sengaja dia tulis. Farikh tersenyum tipis mengingat kejadian saat dia pertama bertemu dengan Rena, sangat memalukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Lovers [TERBIT]
Teen Fiction[Tersedia di Shopee dan Tokopedia] "Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku." Farikh sangat menyayangi Kak Rena, tapi Tuhan lebih menyayangi Kak Rena. Hingga suatu hari, dia dipertemuk...