Bab 45

96 9 0
                                    

Saat keesokan harinya. Arumi tidak bisa fokus di sekolah, pikirannya terus melayang-layang memikirkan nasib Farikh dan Farel. Di mana mereka berdua? Bagaimana keadaan mereka? Hanya satu yang diharapkan Arumi, semoga kedua temannya itu baik-baik saja, di manapun keberadaan mereka.

Arumi tidak suka dirinya yang selalu menjadi saksi. Pertama saat Farikh menyayat lengannya, lalu yang kedua saat Farikh ingin meninggalkan dunia ini, dan yang ketiga Arumi harus melihat Farikh dan Farel yang lompat dari ketinggian. Kalau bisa, Arumi ingin bertukar posisi dengan orang lain.

"Halo, Pa?"

Gadis itu kini duduk di atas motornya yang berhenti di depan sekolah. Arumi menelepon Papa untuk mengetahui kasus menghilangnya Farikh dan Farel.

"Apa kasusnya sudah ada perkembangan, Pa?" tanya Arumi.

Papa menjelaskan panjang lebar, Arumi mengambil kesimpulan singkat bahwa tim Papa tetap melanjutkan pencarian bahkan sampai tengah malam, mereka mendatangi tempat-tempat yang ada di sekitar gedung tua itu, termasuk puskesmas yang sempat Arumi lewati.

Kata salah satu orang di puskesmas, saat malam-malam—bertepatan dengan menghilangnya Farikh dan Farel—ada dua orang pemuda yang datang ke UGD, pakaian mereka penuh darah dan saat petugas kesehatan menanyainya kenapa mereka berdarah-darah, kedua pemuda itu menjawab mereka jatuh karena bermain.

Setelah petugas mengobati kedua pemuda itu, mereka sudah tidak ada di sana saat petugas kesehatan kembali, padahal dia belum membersihkan luka yang paling parah lainnya. Setelah itu, jejak kedua pemuda itu—yang Arumi yakini itu Farikh dan Farel—menghilang. Petugas kesehatan di puskesmas tidak bisa menjelaskan berapa parah luka kedua pemuda itu karena mereka enggan diperiksa.

Arumi mengakhiri panggilan dengan papanya. Dia tiba-tiba teringat sesuatu. Waktu di rumah Farikh kemarin dia tidak sengaja meninggalkan tasnya, mau tidak mau Arumi harus mengambilnya.

Dia menelepon bundanya Farikh, karena tidak memungkinkan menelepon Farikh yang notabene-nya menghilang dan ponsel pemuda itu kini dipegang keluarganya. Arumi memberi tahu bundanya Farikh bahwa dia ingin ke rumah Farikh untuk mengambil tasnya yang tertinggal.

Di seberang sana bundanya Farikh menjawab bahwa sekarang rumah itu kosong, sejak menghilangnya pemuda itu, orang tuanya belum menginjakkan kaki di rumah karena harus bolak-balik ke rumah sakit dan kantor polisi. Arumi di suruh masuh saja ke rumah.

Arumi mengakhiri panggilan. Dia lantas menjalankan motornya menuju rumah Farikh. Dia membuka gerbang yang ternyata tidak terkunci. Gadis itu berjalan selama beberapa menit hingga sampai di depan pintu tanpa banyak bicara.

Arumi menekan password di pintu masuk dan ternyata masih sama sejak dia terakhir kali ke rumah Farikh. Begitu Arumi masuk rumah, dia langsung mencari tasnya di sofa ruang tamu, tetapi tasnya tidak ada di sana.

"Perasaan aku taruh tasnya di sini, sekarang hilang ke mana?" gumam Arumi, dia terdiam beberapa saat lantas teringat sesuatu. "Ah, Farikh memindahkannya ke kamarnya. Kalau tidak salah dia bilang ada di atas nakas."

Arumi sebenarnya tidak enak masuk ke rumah orang seperti ini, dia merasa tidak sopan, tetapi saat telepon tadi, bundanya Farikh malah bilang kepadanya untuk menganggap rumah Farikh sebagai rumahnya sendiri, ada-ada saja.

Setelah naik lift, Arumi sampai di kamar Farikh. Gadis itu membuka pelan pintu kamar Farikh agar tidak menimbulkan suara keras, padahal dia yakin di rumah itu tidak ada siapa-siapa yang akan terganggu karena suaranya.

Arumi melototkan mata saat pandangannya menyusuri kamar Farikh. Dia menutup mulutnya dengan tangan, saking kagetnya gadis itu hampir berteriak. Tangannya mencengkeram daun pintu agar dia tetap bisa berdiri kokoh.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang