Prolog

997 58 31
                                    


Pemuda itu menghela napas panjang, menatap gedung sekolah barunya. Seragam putih abu-abu tampak rapi melekat di tubuhnya setelah tiga tahun dia bosan memakai baju putih-biru. Tangannya menyingkirkan anak rambut yang mengenai mata.

Dia mematut wajahnya di kaca hitam dekat gerbang sekolah, di sana terlihat seorang pemuda berumur lima belas tahun, rambutnya yang hitam dia biarkan tumbuh sampai menutupi sebagian matanya, bukan karena dia malas memotong rambutnya, tapi agar terlihat keren, karena dia percaya kalau rambutnya dibiarkan sampai tumbuh menutupi sebagian matanya dia akan tampak lebih tampan seperti artis Korea. Dia mencoba melupakan fakta bahwa ada lingkaran hitam di bawah matanya.

“Padahal aku hanya begadang semalam untuk main game,” gerutunya.

Dia bukan orang bodoh yang akan menyia-nyiakan tidurnya hanya untuk main game, tapi karena semalam dia mengalami mimpi buruk dan terbangun, lantas tidak bisa tidur lagi karena insomnianya mulai kambuh, jadi dia memutuskan untuk main game daripada bengong di kamar.

“Hei, Farikh!” Seseorang menepuk bahunya dengan keras.

“Eh?” Farikh memutar tubuhnya, dia mendapati Farel—teman sebangkunya berdiri di sebelahnya sembari berkacak pinggang.

“Kenapa tidak masuk? Kita terlambat, sepuluh menit lagi gerbang ditutup!” seru Farel.

Farikh melototkan matanya, dia lupa kalau dia terlambat, karena semalam dia tidur terlambat, yang mana membuatnya kesiangan dan sekarang dia malah asik-asikan berkaca ria. Padahal hari ini hari pertama sekolah, tidak seru rasanya kalau Farikh yang notabene-nya murid baru, kelas sepuluh dan dihukum karena terlambat. Tidak keren sama sekali!

“Ayo! Sebelum gerbangnya ditutup!” Farikh menarik tangan Farel, berlari menuju gerbang.

“Untung saja ... tidak terlambat,” ucap Farikh sembari mengatur napasnya sesaat setelah dia memasuki gerbang sekolah.

“Yah, kau benar, kita tidak terlambat. Tapi ... lihat di depan, ada guru-guru tata tertib.” Farel menunjuk guru-guru yang berada di beberapa meter dari tempatnya berdiri, di sana ada beberapa siswa yang ditanya-tanya, bahkan beberapa guru yang baik hati membantu beberapa siswa mencari barangnya yang hilang dengan mencarinya di tas.

“Memangnya kenapa kalau ada guru-guru tata tertib?” tanya Farikh. “Eh, apa memang keunggulan SMA ini semua gurunya baik ya?”

“Maksudmu?” tanya Farel, tidak sepenuhnya paham.

“Lihat saja, guru-guru itu pagi-pagi sudah bersusah payah menyapa muridnya satu-satu, bertanya apakah muridnya sudah sarapan atau belum, lalu pak guru yang itu—” Farikh menunjuk guru yang memeriksa tas salah satu murid. “Pak guru itu bahkan membantu muridnya yang kehilangan sesuatu di tasnya.”

Farel menepuk dahinya, dia memutar bola mata kesal. “Kau ini bego atau pura-pura sih, Rikh? Guru-guru itu bukan menyapa muridnya, menanyakan sudah sarapan atau belum, apalagi membantu mencari barang muridnya yang hilang. Guru-guru itu ... memeriksa kelengkapan atribut siswa, atau mencari sesuatu yang tidak seharusnya dibawa seorang siswa, dengan kata lain razia.”

“Oh, begitu.” Farikh mengangguk-angguk. “Lalu apa maksudmu mencari sesuatu yang tidak seharusnya dibawa seorang siswa?

“Yah, seperti lipstik, atau alat make up lainnya, kalau cowok sih biasanya membawa rokok. Kalau ketahuan membawa barang-barang itu, mereka bisa dihukum,” jawab Farel.

“Kau tidak membawa rokok, ‘kan?” tanya Farikh, dengan tatapan menyelidik.

“Enak saja! Aku bahkan tidak pernah sekalipun menghisap rokok!” bantah Farel, dia melototkan matanya.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang