Bab 11

89 16 13
                                    

Rikha teringat kejadian hari Minggu lalu saat ia dan Tyara membeli perlengkapan kostum untuk tugas menarinya di hari Senin, sebenarnya Rikha dan Tyara sepakat membeli kostum dua hari sebelumnya setelah pulang sekolah, tetapi Rikha membatalkannya karena tiba-tiba Farikh menawarinya menonton film.

Rikha mengumpat dalam hati, sejak kemarin dia tidak bisa berhenti memikirkan Farikh, sejak adik kelasnya itu pingsan di bioskop, Rikha tidak pernah lagi mendengar kabarnya, bahkan Rikha pernah mencoba mendatangi rumah Farikh bersama kakaknya, tetapi kata Bunda Farikh dia belum sadar.

Saat Rikha bertanya Farikh sakit apa hingga dia tidak sadarkan diri selama dua hari itu, bundanya seperti tidak ingin mengatakan penyakit anaknya dan hanya mengatakan Farikh kelelahan karena terlalu banyak belajar.

“Hei, Ka! Jangan melamun,” ujar Tyara di sebelahnya, dia melambai-lambaikan tangannya di depan muka Rikha, walau tampak kesulitan karena kantong belanjaan yang dia pegang. “Kau tidak mau pulang?”

“Ah, ya.” Rikha buru-buru menyusul langkah Tyara sembari membenarkan kantong belanjaan di tangannya.

“Kita ke taman dulu yuk,” ajak Tyara.

Rikha melirik Tyara dengan pandangan malas. “Kenapa ke sana? Hari Minggu pasti ramai, kita makan saja yuk, atau kalau tidak kita pulang saja? Aku lelah, Ra, besok harus menari dan aku tidak yakin apakah sudah hafal gerakannya.”

Tyara tetap pada pendiriannya. “Sebentar saja, aku hanya ingin beli es krim di dekat taman. Boleh ya?”

Rikha mengedarkan pandangan ke sekeliling, sepeda motor dan mobil berseliweran di jalan raya. “Di seberang jalan ada yang jual es krim, di sebelah sana juga ada.”

Tyara menggeleng. “Tidak, aku ingin beli es krim yang ada di dekat taman.”

“Dasar aneh. Padahal rasanya sama saja, sama-sama es krim.” Rikha memutar bola mata, ingin menolak tetapi Tyara memasang wajah seimut mungkin agar permintaannya dituruti, Rikha mengangkat alisnya. “Kalau begitu ayo, aku tidak tahan dengan wajahmu itu.”

Tyara cengengesan. “Nah, ini baru Rikha temanku.”

Seperti dugaan Rikha, saat tiba di taman, keramaian menyambutnya, tawa anak kecil menjadi pengisi suara dominan di taman. Sembari menunggu Tyara membeli es krim, Rikha melihat-lihat di taman, anak-anak kecil bermain kejar-kejaran ditemani orang tua mereka, beberapa lansia yang duduk-duduk di kursi dan menikmati mentari pagi.

Rikha menoleh ke kanan, dia menelan ludah, ternyata ada juga orang yang berpacaran di taman, mereka duduk di kursi yang jauh dari keramaian dan memakan es krim, berbincang dan tertawa bersama. Rikha apalah daya, jomlo hanya melihat dan harus memiliki ekstra kesabaran.

“Sepertinya aku pernah melihatnya,” gumam Rikha saat mengamati pasangan yang membuat jiwa jomlonya meronta-ronta.

Rikha berjalan mendekati kursi yang mereka duduki, tetapi masih dalam jarak aman. Gadis itu melototkan matanya dan menutup mulutnya. “Bukankah dia Farikh? Bersama seorang gadis?”

“Katanya kemarin masih sakit, sekarang bisa jalan-jalan ya?” gumam Rikha.

Entah kenapa dia merasa kesal karena Farikh tidak pernah mengabarinya bahwa dia sudah sadar, lalu sebuah fakta menyerangnya, memangnya Rikha itu siapa? Dia bukan siapa-siapa Farikh, dia tidak berhak marah kalau Farikh tidak mengiriminya pesan.

Rikha mencoba menajamkan pendengarannya, Farikh dan gadis itu yang semula berbincang santai kini tampak serius. Rikha tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan, yang dia ingat Farikh berkata PTST atau PTSB, entah apa itu.

“PTST? Atau PTSB? Atau PTS?” gumam Rikha.

Rikha melangkah lebih dekat.

“Aku dan teman-teman rindu selama kau tidak masuk, tidak ada lagi ketua yang suka menagih tugas-tugas lagi,” kata gadis itu diselingi candaan.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang