Barulah pada hari Selasa, orang tua Farikh mengizinkannya sekolah setelah benar-benar memeriksa kesembuhan Farikh, Bunda menasehatinya panjang lebar soal tempat-tempat dan sesuatu yang tidak boleh dia kunjungi bahkan mendekat saja tidak boleh dengan tujuan agar trauma itu tidak kambuh lagi. Farikh hanya mengangguk mendengarkan nasehat Bunda.
Sedangkan Papa yang biasanya diam menanggapi ceramah Bunda kini ikut-ikutan menceramahi Farikh tentang anak buah penculik yang bisa saja mengincarnya dan menyakitinya lagi, maka Farikh harus segera menelepon papanya. Bahkan mereka berdua rela terlambat bekerja demi mengantarkan Farikh ke sekolah.
“Aku masuk dulu, Bun, Pa,” pamit Farikh, dia mencium tangan Bunda dan Papa.
Bunda mengelus rambut Farikh. “Selalu hati-hati ya, Nak.”
Farikh mengangguk, lantas dia keluar dari mobil dan berjalan menuju gerbang sekolah. Dia menghirup udara dalam-dalam, tercium aroma khas sekolahnya yang sudah tiga hari ini dia tinggalkan.
Pemuda itu berjalan menuju kelasnya dengan langkah santai. Sesampainya di kelas, Farikh tidak tahu kalau dirinya akan disambut seperti itu, teman-temannya menunggu di pintu dan menanyakan kabar Farikh, mereka meminta maaf karena tidak bisa mengunjungi rumah Farikh karena mereka tidak tahu alamat Farikh.
Padahal mereka bisa bertanya pada Arumi, bukankah dia mengaku tahu semua tentang Farikh?
Saat Arumi dan Farikh bertemu pandang, Arumi hanya menatapnya dengan wajah datar dan mengedikkan bahu seolah tahu apa yang dipikirkan Farikh.
“Terima kasih, teman-teman, kalian tidak perlu begini, aku merasa seperti artis saja,” ujar Farikh.
“Bukan begitu, kami khawir padamu,” balas Farel. “Ditelepon nggak aktif, WA juga nggak dibalas!”
Farikh nyengir, teman-temannya kembali sibuk dengan urusan mereka setelah Farikh mengucapkan terima kasih sekali lagi. “Ponselku baterainya habis dan aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku saat itu.”
Farikh berjalan ke mejanya, menaruh tas dan duduk. Farel duduk di sebelahnya, menopang dagu. “Kau sakit apa sampai koma begitu?”
“Sakit hati!”
Farel langsung menimpuknya dengan buku tulis matematika yang tebal. “Kalau ditanya nggak pernah jawab serius.”
“Serius.”
***
Farikh mengerutkan dahinya tatkala melihat Farel yang sedari tadi melamun dan tiba-tiba saja tersenyum gemas, melamun lagi dan menghayal lantas cengengesan.
Farikh memukul kepala Farel dengan pensil. “Kau kerasukan apa? Atau ada masalah dengan otakmu karena tadi dihukum guru?”
Farel tidak kesal karena Farikh memukulnya, dia malah cengengesan dan menggoyang-goyangkan lengan Farikh. Pemuda itu menyingkirkan tangan Farel dan menggeser kursinya agar jauh dari Farel yang sepertinya hari ini bermasalah.
“Menakutkan,” ujar Farikh.
“Aku sangat bahagia hingga ingin memelukmu,” ucap Farel sembari merentangkan tangannya dan mendekati Farikh.
Farikh menendang kaki Farel cukup kuat hingga membuat temannya itu mengaduh.
“Kau gila ya?”
Farel menggeleng, dia tersenyum kembali setelah mengelus-elus kakinya. “Kau tidak bisa melihat temanmu bahagia? Hari ini aku sangat bahagia, tahu kenapa?”
“Nggak penasaran,” sahut Farikh cepat.
“Walau kau tidak penasaran, aku tetap akan memberitahumu. Aku kan sudah pernah cerita padamu kalau aku mencintai seseorang, dan kemarin aku mengajaknya jadian, dan dia menerimaku! Yuri menerimaku!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Lovers [TERBIT]
Teen Fiction[Tersedia di Shopee dan Tokopedia] "Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku." Farikh sangat menyayangi Kak Rena, tapi Tuhan lebih menyayangi Kak Rena. Hingga suatu hari, dia dipertemuk...