Bab 27

42 10 0
                                    

Lubis mencuci tangannya agar steril sebelum dia membantu menjadi asisten operasi kali ini. Melakukan operasi bukan hal baru lagi bagi Lubis, saat kuliah dia mendapat nilai tertinggi dalam praktek membelah mayat. Namun hal itu berbeda, dia kini bukan lagi membedah mayat, melainkan orang.

Dia tidak habis pikir bagaimana bisa secara kebetulan orang pertama yang akan dioperasinya adalah Farikh. Lubis berdoa semoga saja operasi kali ini semudah seperti praktek di kuliahnya, dia berharap operasinya berhasil agar Farikh bisa hidup.

Lubis tidak tahu apa yang akan terjadi pada adiknya jika Farikh tidak tertolong. Walau Farikh bukan siapa-siapa Rikha, tetapi sepertinya Rikha sangat peduli pada pemuda itu. Semoga saja semuanya berjalan lancar.

“Sudah selesai?”

Suara seniornya berhasil mengembalikan Lubis dari lamunannya. Dr. Ryan mencuci tangannya di sebelah Lubis, dengan memakai alat pelindung diri—masker dan baju untuk operasi—yang sudah terpasang rapi.

“Hampir selesai Kak Yan,” jawab Lubis.

Ryan merupakan senior yang paling dibenci sekaligus disukai Lubis. Dia benci Ryan karena seniornya itu orang yang paling sering memarahi Lubis di rumah sakit, dia juga yang tadi menelepon Lubis agar dia kemari. Ryan suka marah-marah pada kesalahan kecil yang dilakukan Lubis. Terkadang Lubis kesal sama Ryan.

Namun di balik sifat kerasnya itu, dia seperti kakak bagi Lubis. Ryan memarahi Lubis agar dia tidak lagi salah jalan. Ryan juga peduli sama Lubis, dia tidak ingin Lubis sakit jika pemuda itu terlalu semangat bekerja.

Lubis mengetahui sesuatu yang mengejutkan hari ini saat gadis yang disukainya—yang juga juniornya di kampus—tiba-tiba mendatanginya dan memberikannya minum. Ternyata, Ryan yang menyuruh gadis itu karena dia terlalu khawatir sama Lubis.

Lubis saat itu bertanya pada Ryan, bagaimana dia bisa kenal sama gadis itu.

“Tentu saja aku mengenalnya, dia adikku,” jawabnya enteng waktu itu. “Dan aku juga tahu kalau kau diam-diam menyukai adikku.”

Lubis terkejut waktu itu, apalagi saat Ryan menambahkan kalimat akhirnya. “Saat kau memutuskan menyukai adikku, kau harus membuktikan kalau dirimu layak.”

“Lubis, jangan melamun lagi! Bagaimana kalau kau nanti melamun di saat operasi dan tidak sengaja memotong nadi pasien?” Ryan si pemarah keluar lagi.

“Ah, maaf Senior,” ujar Lubis.

Jika Ryan marah, Lubis tidak berani memanggilnya dengan panggilan akrab ‘Kak Yan’, daripada dia kena gampar.

“Apa semua dokter bedah sedang sibuk?” tanya Lubis, dia selesai mencuci tangannya.

“Iya, mereka masih sibuk dengan pasien tabrakan beruntun. Hanya tersisa sedikit dokter, kalau tidak, aku tidak akan meminta anak magang sepertimu menjadi asisten,” jawabnya.

Lubis mengangguk. “Kenapa Kak Yan tidak meminta temanku yang lain?”

“Karena aku percaya padamu.” Dia menoleh pada Lubis. “Apa kau tahu siapa yang menjadi kepala operasi kali ini?”

“Bukannya Kak Yan?”

Ryan menggeleng. “Aku juga jadi asisten sepertimu. Hari ini rumah sakit kita kedatangan dokter baru. Yah, walaupun bukan dokter baru sepertimu. Dia sebenarnya sudah lama berkecimpung di dunia kedokteran, hanya saja dia berhenti selama beberapa tahun, entah karena apa.”

“Dia dokter yang hebat, aku sangat mengagumi kemampuannya dalam mengoperasi, dia cekatan dan berani ambil risiko. Saat dia memutuskan berhenti, aku sangat kecewa, tapi syukurlah dia kembali lagi,” Ryan lanjut bercerita.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang