Bab 7

104 19 5
                                    

Lubis mondar-mandir sembari  jemarinya mengetuk-ngetuk pelan dahinya, dia berpikir keras, sesekali dia bergumam. Setelah mondar-mandir tidak jelas, dia duduk di tepi ranjang kamar Rikha.

“Kau didiagnosa terkena penyakit serius, Dik. Stadium akhir,” ucapnya.

Saat kakaknya pulang, Rikha menceritakan kejadian saat dia dengan Aran kemarin, tentu bukan saat dirinya menangis karena tahu Aran begitu tulus padanya, kalau Rikha cerita itu, dia malah ditertawakan oleh kakaknya. Rikha cerita pada Lubis yang sebentar lagi menjadi dokter, apakah Rikha baik-baik saja karena saat dekat dengan seseorang, jantungnya berdetak dengan kencang, apalagi saat orang itu menyentuh pipinya.

“Kakak, jangan membuatku takut.” Rikha merengek.

“Aku tidak menakut-nakutimu, itu faktanya. Kakak mau tanya lagi, orang yang menyentuh pipimu saat itu cowok kan?” Lubis menebak tepat sasaran.

Pipi Rikha memerah, dia tersipu, yang mana cukup untuk menjawab pertanyaan Lubis.

“Aku sakit apa, Kak? Apa bisa disembuhkan?” Rikha mengoyang-goyangkan lengan Lubis, takut sekali jika dia benar-benar menderita penyakit parah dan tidak bisa disembuhkan.

“Tidak ada obatnya. Kau mau tahu apa penyakitmu?” Lubis memandang Rikha serius, sengaja menjeda agar Rikha penasaran. “Kau sedang jatuh cinta.”

Lubis tertawa melihat ekspresi Rikha yang awalnya tegang menjadi datar, lantas gadis itu mengembungkan pipinya kesal saat kakaknya tertawa makin keras sampai-sampai dia memegangi perutnya, matanya sampai berair.

“Kau polos sekali,” ujarnya. “Suka sekali menggodamu.”

Rikha tersenyum tipis melihat kakaknya yang tertawa lepas, dia jarang melihat kakaknya tertawa seperti itu, walau berusaha disembunyikan Lubis, Rikha tahu selama ini kakaknya itu memiliki banyak tekanan, entah tugas kampusnya atau magang yang dilakukannya. Juga Lubis pasti tertekan karena harapan orang tua mereka yang terlalu besar pada anak pertamanya, Lubis takut melakukan kesalahan yang akan membuat orang tuanya kecewa padanya.

Kalau saja Rikha lebih pintar dan membanggakan orang tuanya, mungkin Lubis tidak akan terlalu tertekan.

Lubis terdiam, lelah karena terus tertawa, dia mengambil botol minum bergambar kucing yang ada di nakas—menjadi kebiasaannya untuk membawa botol minum ke manapun, walau ke kamar adiknya sekalipun, yang mana bersebelahan. “Siapa cowok itu?”

Rikha menerjab, tidak terlalu fokus. “Cowok siapa?”

Lubis meneguk minumnya, menaruh kembali botol itu di atas nakas. “Yang membuatmu didiagnosa penyakit serius itu?”

“Tidak ada! Aku tidak sedang jatuh cinta! Itu mungkin hanya reaksi jantung biasa,” ujar Rikha, dia menggeleng-geleng keras.

Lubis terkekeh. “Aku akan percaya jawabanmu jika kau tidak bereaksi berlebihan seperti itu. Ayolah, siapa namanya?”

Rikha tersenyum jahil. “Rahasia. Menurut Kak Lubis, siapa?”

***

Esok harinya Rikha sekolah diantar Lubis dengan sepeda motornya sebelum kakaknya itu ke kampus, kebetulan kampus dan sekolah Rikha searah. Awalnya Rikha menolak karena takut kakaknya terlambat, dia ingin membawa motor sendiri, tetapi kakaknya tetap bersikeras bahwa Rikha tidak boleh bawa motor sebelum benar-benar sembuh dari kecelakaan itu.

“Aku sudah sembuh, Kak. Lihat tanganku dan kakiku sudah tidak apa-apa.” Rikha menunjuk lengan atas tangan kanannya yang telah dijahit dan kini sudah mengering, serta luka di kaki kanannya juga mulai mengering, tulang kakinya yang pernah patah kini telah membaik, dia sudah bisa berjalan sejak seminggu lalu.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang