Tangan Rikha yang berlumuran darah Aran itu bergetar. Dia menggigit bibirnya, sudah lebih dari dua jam Aran berada di ruang operasi dan sekarang tidak ada tanda-tanda dokter akan keluar ruangan dengan memberikan kabar baik.
Rikha menunduk, dia mengacak rambutnya frustrasi dan menangis tanpa suara. Dia terus menyalahkan dirinya, seandainya saja Aran tidak menghalangi peluru itu, mungkin saja Aran masih ada di samping Rikha dan dia masih bisa tertawa bersamanya.
Pemikiran buruk terus berkecamuk di benaknya, bagaimana jika Aran tidak selamat? Rikha akan merasa sangat bersalah, dia selalu menyusahkan dan mencampakkan pemuda itu. Baru sekarang dia memahami betul perasaan Aran, Tuhan tidak sejahat itu ‘kan dengan mengambil Aran-nya?
“Aran, kumohon,” gumam Rikha seraya memandang ruang operasi. “Bertahanlah.”
Seseorang meraih tangan Rikha yang bergetar membuat gadis itu mengangkat wajahnya yang sembab, tangan kurus putih pemuda itu menghapus air mata Rikha, dia berjongkok di depan Rikha.
“Kak, apa Aran baik-baik saja? Kenapa Kakak tidak ikut ke dalam?” tanya Rikha.
“Tenang saja, Aran akan baik-baik saja,” jawab Lubis. “Dan anak magang belum diperbolehkan melakukan operasi.”
Lubis berdiri, dia meraih tangan Rikha. “Ayo cuci muka dan tangan dulu, wajahmu semakin berantakan kalau menangis.”
Rikha menurut saat kakaknya menggiringnya menuju toilet rumah sakit. Gadis itu membersikan tangannya yang berlumuran darah Aran lantas membasuh wajahnya. Rikha melihat wajahnya di pantulan cermin, matanya memerah dengan kantung mata yang membengkak, wajah yang tampak pucat dan tidak ada semangat. Seragam yang kusut dan bernoda darah.
“Sudah selesai?” tanya Lubis, dia memberikan kantung plastik pada Rikha. “Pakai jaket ini, seragammu tampak mengerikan.”
Rikha mengangguk lemas.
“Kakak akan mengantarmu pulang sebelum Papa Mama khawatir,” ujar Lubis.
“Tapi, Kak, Aran bagaimana?” Rikha menahan tangan Lubis yang hendak mengapai kenop pintu.
“Kakak yang akan menjaganya, sekarang Rikha pulang dulu dan ke sini besok. Kakak janji, Aran akan baik-baik saja, kau harus istirahat. Kakak yakin jika Aran sadar sekarang, dia akan menyuruhmu pulang agar kau tidak sakit.” Lubis mengelus pelan rambut Rikha.
“Baik, Kak.” Rikha mengangguk.
***
Pagi-pagi sekali Rikha sudah bangun dan kini dia berdiri sembari mengetuk kamar Lubis yang berada di sebelah kamarnya. Dia ingin tahu keadaan Aran, seingatnya Lubis semalam pulang dan kakaknya itu pasti tahu keadaan Aran.
“Kak Lubis,” panggil Rikha sembari mengetuk kamar Lubis. “Kakak sudah bangun? Bagaimana hasil operasi Aran?”
“Kak Lubis nggak di rumah, Dik. Dia nggak pulang dari kemarin, masih di rumah sakit,” sahut Mama yang kebetulan lewat.
“Nggak pulang?”
Mama mengangguk. “Kamu nggak sekolah?”
“Ma, aku boleh nggak sekolah sehari? Aku khawatir sama Aran, aku ingin menjenguknya,” ujar Rikha. “Kalau saja dia tidak menyelamatkanku, aku yang mungkin menggantikan posisinya sekarang.”
“Tapi sekali ini saja? Jangan sampai ketinggalan materi lagi,” kata Mama tegas. “Nanti Mama buatkan surat izinnya.”
“Makasih, Ma.”
Tepat setelah gadis itu berucap, ponselnya berbunyi, dia berlari ke kamarnya dan melihat nama kakaknya di layar ponsel sedang meneleponnya. Rikha menekan tombol hijau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Lovers [TERBIT]
Teen Fiction[Tersedia di Shopee dan Tokopedia] "Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku." Farikh sangat menyayangi Kak Rena, tapi Tuhan lebih menyayangi Kak Rena. Hingga suatu hari, dia dipertemuk...