Epilog

160 11 0
                                    

Tahun ajaran baru dimulai.

Farikh kini sudah kelas sebelas, berarti terhitung kira-kira tujuh bulan sejak kejadian penculikan Farel oleh ayahnya sendiri. Bicara tentang Farel, dia tidak pernah mau menemui ayahnya yang kini dipenjara. Ayahnya mengira jika Farel benar-benar terkena tembakan di kepala karena ulahnya, dia sangat khawatir pada Farel hingga kondisi mentalnya semakin buruk apalagi saat Farel tidak memperbolehkan siapapun bilang kepada ayahnya jika Farel masih hidup.

Selama Farikh kelas sepuluh, dia banyak absen dari kelas karena sakit, jadi dia bekerja keras untuk mengejar ketertinggalannya dan dia ingin merebut kembali juara satu yang beberapa kali diambil alih oleh Arumi. Memang melelahkan, tetapi Farikh lebih suka belajar daripada menerima tawaran Papa untuk belajar bela diri.

Sejak kelulusan Aran dan Rikha, Farikh tidak pernah lagi berjumpa dengan mereka. Mungkin keduanya sibuk mempersiapkan diri untuk masuk kuliah. Aran yang katanya ingin masuk akademi militer dan Rikha yang ingin masuk kedokteran. Farikh berharap semoga keduanya berhasil dan sukses.

Farikh kini menatap barisan mobil yang memadati jalan dengan wajah cemberut. Dia hampir lupa jika hari Senin menjadi hari paling sibuk, apalagi saat dimulainya tahun ajaran baru. Pemuda itu menatap jam tangannya, sebentar lagi jam tujuh dan jalanan macet, padahal tinggal seratus meter jarak dari tempatnya berdiri dengan sekolah.

"Kalau begini aku bisa terlambat, mana ada upacara lagi," gumam Farikh, dia berpikir cepat lantas mengambil tasnya yang tergeletak di jok sebelahnya.

"Bun, aku jalan aja daripada telat," ucap Farikh lantas membuka pintu mobil sebelum Bunda sempat menolak.

"Farikh!" seru Bunda dari dalam mobil, Farikh yang sudah ada di jalan menoleh dan melambaikan tangan sambil tersenyum.

Farikh berlari di trotoar—yang sebenarnya membuat pemuda itu sedikit trauma kala teringat kecelakaan itu. Dia melihat jam tangannya sekali lagi—jam itu hadiah dari Arumi saat ulang tahun Farikh—lima menit lagi jam tujuh.

Saat membicarakan tentang trauma, Farikh jadi teringat tentang PTSD-nya. Dia tidak tahu apakah penyakitnya itu sudah hilang atau belum, karena akhir-akhir ini PTSD-nya tidak pernah kambuh, Farikh berharap traumanya itu sudah hilang.

Farikh mendongakkan kepala, ia melupakan satu hal, jika hari Senin dan ada upacara, maka gerbang sekolah ditutup lima belas menit sebelum jam tujuh. Sudah dapat dipastikan Farikh terlambat kali ini.

Dan benar saja. Saat sampai di depan sekolah, gerbang sudah tertutup bertepatan dengan bendera yang dinaikkan ke atas. Napas Farikh ngos-ngosan, dia berjalan mendekati gerbang dan menemukan seseorang yang berdiri di sana.

"Kau terlambat lagi?" tanya Farel yang bersandar di dekat gerbang dengan tangan yang dilipat di depan dada.

Farikh mengangguk. "Sebenarnya aku tidak terlambat, hanya saja gerbangnya terlalu cepat ditutup."

Farikh kini ikut menyandarkan punggung di gerbang, mereka berdua lantas tertawa. "Kau ingat tidak saat kita kelas sepuluh? Kita juga terlambat seperti ini, sungguh kebetulan yang aneh."

Farikh tentu saja ingat, hari itu juga menjadi hari pertamanya bertemu dengan Rikha yang membuat kisah hidupnya semakin rumit.

Kedua pemuda itu kini melihat proses upacara bendera yang hampir selesai. Farel malah mengambil kesempatan dengan menggoda Yuri yang sekarang sedang giliran jaga—dia anggota PMR, alhasil Farel dapat pelototan dari guru yang menjaga di dekat anak-anak PMR karena Farel membuat keributan.

Farikh tertawa melihatnya.

"Farel kenapa?" tanya seseorang yang ada di sebelah Farikh.

"Dia—" Farikh berhenti tertawa dan refleks menoleh ke sebelah, dia terlonjak kaget. "Astaga! Sejak kapan kau di sini, Arumi!?"

"Baru saja," jawab Arumi.

"Gadis cerewet?" Farel menyembulkan kepala di balik punggung Farikh. "Kau terlambat juga? Wah, sejak kapan gadis rajin sepertimu terlambat?"

Arumi berkacak pinggang, untung saja kemarahan Arumi tidak meluap-luap seperti yang Farikh bayangkan. "Sejak tadi. Gara-gara ban motorku kena paku."

Perbincangan terus berlanjut antara Farel dan Arumi, Farikh sesekali ikut menyahut. Mereka tidak sadar jika upacara bendera telah berakhir dan gerbang sekolah dibuka kembali agar anak-anak, yang terlambat bisa masuk, walau nantinya mereka akan dihukum.

"Sungguh kebetulan yang aneh, kita bertiga bisa terlambat di hari pertama sekolah," ujar Farikh, lantas dia tertawa.

"Inggat nggak waktu itu kau dimarahin karena pakai kaos kaki SMP? Waktu itu wajahmu lucu sekali, cemberut," kata Farel.

Mereka bertiga tertawa. Walaupun waktu itu Arumi belum mengenal betul Farikh, tetapi dia masih ingat bagaimana wajah Farikh yang tertekuk cemberut waktu dia datang ke kelas. Dia juga kena sial karena waktu itu guru bahasa Indonesia ada di kelas, jadinya Farikh dihukum lagi. Farikh disuruh membuat puisi secara instan dan dia anak yang tidak jago di bidang sastra.

"Hei! Kalian bertiga! Yang berdiri di dekat gerbang! Kemari! Terlambat kok malah cengengesan, tidak punya rasa bersalah sama sekali," ucap Pak Agus sembari melambaikan tangan.

Ketiganya tersadar jika mereka yang dipanggil. Arumi langsung berhenti tertawa dan menghampiri Pak Agus yang berada di dekat anak-anak PMR. Farikh dan Farel saling tatap, lantas tertawa. Bahkan Pak Agus menegurnya dengan cara yang sama seperti waktu itu.

"Jangan sampai kaos kakimu kena, Rikh," bisik Farel sembari melangkah mengikuti Arumi. "Atau rambutmu nanti bisa kena juga."

"Kalau aku kena razia, kau jangan meninggalkanku seperti waktu itu."

TAMAT




Terima kasih telah bertahan sampai sini, maaf jika endingnya mengecewakan dan tidak sesuai ekspetasi.

Dari skala 1 sampai 10, menurut kalian berapa nilai cerita ini?

Atau adakah yg mau ditanyakan sama tokoh-tokoh cerita atau authornya?

Seandainya ya, kalau cerita ini diterbitin, menurut kalian pantas atau tidak?

Apakah ada saran dan kritik?

Terima kasih telah membaca cerita ini, see you in next story.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang