“Kenapa sih Ka kau dari tadi melamun terus?”
Pertanyaan Tyara mengembalikan Rikha ke realita. Gadis itu menoleh pada teman sebangkunya lantas menggeleng pelan. Rikha menopang dagu dengan tangan, mencoba kembali fokus pada pelajaran.
“Nggak kau, nggak juga si Aran, kalian berdua hanya melamun dan diem-dieman,” ujar Tyara yang sukses membuyarkan konsentrasi Rikha terhadap pelajaran.
“Kalian lagi bertengkar ya? Atau kalian janjian mau melamun terus, so sweet banget tahu nggak?” tanya Tyara sarkas.
“Aku nggak marahan, hanya saja ada masalah lain,” jawab Rikha.
Gadis itu menghela napas, dia tidak memberi tahu siapapun tentang kecelakaan Farikh karena permintaan langsung dari kedua orang tua Farikh, entah apa tujuannya, mungkin agar pencarian pelaku segera ditemukan atau bagaimana. Rikha tidak paham jika disugukan dengan pemecahan kasus seperti mencari penjahat.
Rikha tidak bisa fokus pelajaran, dia khawatir dengan Farikh—ia memang tipikal orang yang mudah khawatir terhadap orang lain. Pagi tadi dia tanya kondisi Farikh melalui Lubis dan kakaknya itu mengatakan jika Farikh belum sadarkan diri, dia seperti tidak ingin bangun lagi. Tidak ada semangat hidup darinya, ia seperti nyaman di alam bawah sadar.
Belum selesai dengan masalah Farikh, guru BK tiba-tiba mendatangi kelasnya. Dia bercakap-cakap sebentar di depan lantas memberikan masing-masing selembar kertas untuk diisi. Itu angket untuk menulis pilihan jurusan dan perguruan tinggi negeri yang ingin dimasuki.
Otak Rikha blank, dia tidak tahu harus masuk jurusan apa. Walau ada satu jurusan yang diinginkannya, tetapi keluarganya tidak mendukungnya. Rikha masih ingat percakapannya dengan Lubis beberapa bulan silam.
“Kau ingin masuk jurusan apa?” tanya Lubis waktu itu, mereka sedang duduk di sofa ruang tengah sambil menonton televisi.
Rikha kala itu sedang mengunyah pisang keju hanya bisa bergumam dan menggelengkan kepala.
“Kau sudah kelas dua belas, Ka. Yakin nggak punya sedikitpun bayangan ingin jadi apa besok? Atau kalau tidak kau suka pelajaran apa? Nah, kau bisa masuk jurusan yang berhubungan dengan pelajaran yang kau sukai.” Lubis mencomot pisang keju yang ada di piring Rikha.
“Nggak suka pelajaran,” jawan Rikha.
Lubis terkekeh. “Kau sama sepertiku dulu, tapi aku sudah tobat dan kini jadi baik.”“Jadi Kak Lubis dulu pernah nakal?” tanya Rikha, setahunya, Lubis itu anak Mama yang paling penurut, dia pintar dan sepertinya tidak punya bakat untuk jadi nakal.
“Sebenarnya aku lebih nakal dan bandel darimu, tapi itu dulu. Sekarang jangan mengalihkan topik pembicaraan.” Lubis melotot.
“Ey, Kakak tidak seru.” Rikha merenggut. “Sebenarnya aku sedikit suka dengan biologi. Kalau dipikir-pikir, kau keren juga, Kak. Aku juga ingin jadi dokter sepertimu.”
“Jika kau hanya sedikit suka dengan biologi, lebih baik jangan mengambil jurusan kedokteran. Anak-anak FK itu pintar-pintar, jika kau tidak jago biologi, lebih baik jangan ambil jurusan kedokteran, kalau tidak kau akan terkucil. Jujur saja, jurusan itu sulit dan kau harus bekerja keras. Aku tidak ingin kau nantinya menyesal sepertiku.
“Apalagi jika harus magang, kata temenku yang sudah magang, dunia perkoasan itu keras. Aku tidak yakin kalau kau sanggup, apalagi kau tidak terlalu suka belajar dan akan langsung menangis jika dimarahin senior,” lanjutnya.
Rikha menundukkan kepala, pelajaran telah berakhir beberapa menit lalu, sekarang jam istirahat kedua. Rikha menghela napas, dia mulai menuliskan nama dan kelas di lembaran itu. Ia mengosongkan tiga pilihan PTN dan jurusan di lembaran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Lovers [TERBIT]
Teen Fiction[Tersedia di Shopee dan Tokopedia] "Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku." Farikh sangat menyayangi Kak Rena, tapi Tuhan lebih menyayangi Kak Rena. Hingga suatu hari, dia dipertemuk...