Bab 28

33 10 0
                                    

Rikha memperhatikan pintu ruang operasi yang masih tertutup, seperti tidak ada kehidupan di balik pintu itu. Pandangannya lantas beralih pada gadis di sebelahnya, Arumi tidak lagi menangis seperti tadi setelah dia menerima telepon dari bundanya Farikh.

“Kak Aran, terima kasih,” ujar Arumi.

Aran tersenyum tipis. “Aku hanya tidak suka jika melihat gadis menangis, yah walaupun aku tadi malah menyuruhmu menangis.”

Aran kini memandang Rikha. “Aku pernah mendengar orang berkata, kalau menangis terkadang juga diperlukan agar beban di hati bisa hilang. Dia juga berkata saat seorang gadis menangis, terkadang perlakuan sederhana seperti pelukan bisa menenangkannya.”

Rikha ingat dia pernah mengatakan hal itu pada Aran. Rikha tersenyum saat Aran memandangnya semakin dalam.

Tidak ada percakapan setelah itu, mereka bertiga diam dan berperang dengan pikirannya masing-masing. Arumi izin ke toilet sebentar, mungkin dia ingin membersihkan darah yang ada di tangannya. Setelah kepergian Arumi, Aran menarik Rikha agar duduk di dekatnya. Aran kini memandang pintu ruang operasi.

“Aku tidak tahu jika operasi membutuhkan waktu yang lama seperti ini,” gumam Aran.

“Kau waktu itu juga lama,” celetuk Rikha. “Entah apa yang mereka lakukan di sana.”

“Mereka menyelamatkanku,” ujar Aran. “Kuharap kali ini mereka menyelamatkan Farikh juga. Aku selama ini tidak pernah berperilaku baik padanya, setiap kami bertemu, pasti ada pertengkaran dan kami tidak pernah akur.”

“Aku ingin meminta maaf padanya,” lanjut Aran.

“Farikh marah padaku karena saat aku kecelakaan dulu, ternyata orang yang kutabrak itu pacarnya Farikh, dia meninggal karena kecelakaan itu. Aku tidak tahu apakah Farikh sudah memaafkanku,” ucap Rikha.

“Jadi waktu itu kau menangis karena Farikh menyalahkanmu soal kecelakaan itu? Kenapa kau tidak pernah cerita?” tanya Aran. “Seharusnya aku tidak perlu memukulnya saat itu.”

“Aku juga baru tahu saat itu,” gumam Rikha.

Arumi datang bersama seorang wanita yang memakai jas dokter. Rikha awalnya sempat mengira dia dokter di rumah sakit ini, tapi bajunya sedikit berbeda dari milik Lubis, berarti dia bukan dokter dari rumah sakit ini. Saat mereka berjalan mendekat, barulah Rikha tahu jika wanita itu bundanya Farikh.

Rikha dan Aran memberi salam pada bundanya Farikh. Arumi mempersilahkan Bunda Anna duduk, mata Anna memerah, suaranya kentara sekali kalau ia habis menangis.

“Arumi ada di sana kan? Bagaimana keadaan Farikh hingga dia sampai seperti sekarang?” tanya Anna.

“Memang benar kata Tante Anna kalau Farikh berniat bunuh diri, dia seperti melihat Kak Rena dan katanya dia harus menyusul Kak Rena.” Arumi mulai bercerita, Aran dan Rikha yang sama penasarannya juga mendengarkan dengan saksama.

“Tapi di saat terakhir, Farikh mengurungkan niatnya, dia sudah benar dengan berdiri di trotoar, lalu tiba-tiba ada mobil merah yang seperti sengaja menabraknya.”

Mendengar hal itu, tangis Anna pecah. Arumi memeluknya untuk menenangkan bundanya Farikh, seperti yang Aran lakukan tadi. Anna menangis tiada henti, dia menyalahkan dirinya sendiri karena anaknya kecelakaan, ia mengatakan bahwa dia bukan ibu yang baik. Tangisan Anna menyayat hati Arumi hingga gadis itu terbawa emosi dan dia menangis.

“Bunda,” panggil Arumi membuat tangisan Anna terhenti dan kini ia memandang wajah Arumi.

“Tante tidak boleh seperti ini, kita harus mendoakan keselamatan Farikh, bukannya menyalahkan diri sendiri. Tante pasti ingin mendengar Farikh memanggil ‘Bunda’, bukan? Kita harus mendoakan Farikh. Hanya itu yang kita bisa,” ujar Arumi, dia menghapus air mata di pipi Anna.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang