Bab 14

60 16 0
                                    

Arumi berjalan santai di lorong kelas-kelas, sesekali gadis itu menyenandungkan lagu yang akhir-akhir ini populer, tangannya memainkan kunci motor, ia akan mengambil motornya di parkiran belakang dan pulang, badannya pegal-pegal setelah mengikuti eskul.

Tiba-tiba suara ponsel mengangetkannya, dia mengambil ponsel yang ditaruhnya di saku baju, ada panggilan masuk atas nama Ketua.

“Ada apa, Ketua? Kenapa kau meneleponku?” tanya Arumi tanpa menghentikan langkahnya.

“To-long aku, di parkiran belakang sekolah,” ucap Farikh dari seberang sana dengan suara serak.

Arumi mengerutkan dahinya. “Kenapa? Apa yang terjadi padamu? Kau baik-baik saja? Ketua!”

Arumi mengecek ponselnya, panggilan masih berlangsung tetapi tidak ada sahutan dari Farikh. Arumi berlari menunju parkiran belakang dengan sambungan telepon yang masih terhubung.

Arumi terkejut mendapati Farikh yang terbaring tanah dengan ponsel yang menyala, seragam kusut dan bercak darah di sekitar tepatnya terbaring.

“Ketua! Bangun! Bangun! Jangan membuatku khawatir!” Arumi menguncang-nguncangkan badan Farikh dan menepuk-nepuk keras pipi Farikh.

“Ketua? Kau bisa mendengarkanku?” tanya Arumi saat mendapati Farikh mulai mengerakkan tangannya.

Farikh mengerang, matanya perlahan terbuka. Dia berucap dengan suara lemah, “Ngomong-ngomong, aku punya nama.”

“Akhirnya kau sadar.” Rikha membantu Farikh untuk duduk. “Aku tahu kau punya nama, tapi aku lebih suka memanggilmu ketua.”

Arumi membuka tasnya dan memberikan minum pada Farikh. Pemuda itu menerima botol yang disodorkan Arumi dan meminumnya. Dia memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.

Arumi memperhatikan seragam Farikh yang kusut dan kotor oleh darah, lantas beralih pada wajah Farikh yang babak belur. Sudut bibir pemuda itu ada darah dan pipinya membiru seperti habis dipukuli. Ia merasa bersalah karena secara tidak sadar telah menampar Farikh untuk membangunkannya.

“Habis bertengkar sama Kak Aran? Karena masalah Kak Rikha?” tanya Arumi.

Farikh mengangguk. “Kau selalu tahu jawabannya.”

“Ayo ke rumah sakit,” ajak Arumi.

Farikh menggeleng. “Aku pulang saja, nanti juga sembuh sendiri, aku takut orang tuaku khawatir karena tidak pulang-pulang.”

Farikh berusaha berdiri, tetapi perutnya terasa sakit saat dia berusaha bangun, dia nyengir ke arah Arumi.

“Yakin mau langsung pulang?”

Farikh mengangguk yakin. “Cuma luka sedikit, nggak perlu dibawa ke rumah sakit. Oh ya Arum, jangan sampai teman-teman tahu kalau aku habis berantem.”

“Kenapa?”

“Karena aku kalah,” jawab Farikh, lantas dia terkekeh pelan yang mana membuat Arumi tersenyum juga.

Arumi membantu Farikh berjalan di kursi panjang yang ada di parkir belakang.

“Bukankah orang tuamu akan lebih khawatir jika melihat keadaan anaknya babak belur begini?” tanya Arumi. “Maaf aku tidak punya keahlian untuk mengobatimu.”

“Tidak apa-apa.”

Arumi membuka tasnya, mengaduk-aduk isinya. Dia menemukan masker kain dan menyerahkannya pada Farikh. “Pakai itu saat pulang, jangan dibuka kecuali di kamar agar orang tuamu tidak khawatir, tapi kau tidak bisa menyembunyikannya untuk waktu yang lama.”

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang