Bab 10

91 16 4
                                    

Farikh melihat kilas balik masa lalunya di dalam mimpi.

Saat itu ia kelas enam SD, umurnya dua belas tahun. Farikh menunggu jemputan dari Paman Rifqi di depan sekolah, Paman Rifqi sudah enam tahun bekerja di rumah Farikh sebagai supir pribadi keluarga Farikh.

Setelah lama menunggu, sebuah mobil hitam menepi di dekat gerbang sekolah Farikh. Jendela mobil terbuka, memperhatikan Paman Rifqi yang menyambut Farikh dengan senyuman. “Maaf sedikit terlambat, Tuan Muda.”

Bibi Nita juga di sana, ia biasanya memasak di rumah dan menemani Farikh jika orang tuanya tidak ada di rumah. Bibi Nita duduk di sebelah Paman Rifqi.

“Tidak apa-apa, Paman,” ujar Farikh santai. “Loh, Bibi juga ikut?”

Bibi Nita tersenyum. “Bibi sekalian belanja setelah menjemput Tuan Muda. Bibi juga ingin mengajak Tuan Muda jalan-jalan sekalian.”

Farikh terseyum lebar lantas berteriak girang. Farikh membuka pintu mobil dan berbaring di jok belakang sembari menutup mata, tanpa sadar dia tertidur selama perjalanan.

Bibi Nita membangunkan Farikh setelah sampai di tujuan. Farikh mengucek matanya dan duduk, ia masih di mobil. Pandangannya menyisir tempat sekitar, ia masih berusaha mengumpulkan nyawanya yang tercecer di mana-mana.

“Bi, katanya mau belanja? Kok tempatnya seperti pabrik? Apa kita langsung belanja ke pabriknya?” Farikh mengucek-ngucek matanya, sembari tangan satunya menunjuk pabrik di sebelah mobil.

Bibi Nita tersenyum, Paman Rifqi sudah duluan turun dari mobil. “Ayo kita keluar dulu, Bibi sama Paman mau menunjukkan tempat yang menarik, setelah itu kita belanja, setuju?”

Farikh mengangguk, dia mengambil tas sekolahnya dan keluar mobil. Bibi Nita dan Paman Rifqi mengajaknya ke suatu tempat, Farikh awalnya tidak tahu mereka akan ke mana, tetapi Farikh tidak sebodoh itu untuk menyadari bahwa mereka menuju pabrik yang awalnya Farikh kira tempat untuk belanja itu.

Pabrik itu lebih buruk dari yang Farikh bayangkan, sepertinya pabrik itu telah ditinggalkan selama bertahun-tahun, kotoran di mana-mana, kekacuan menghiasi tempat itu. Farikh menutup hidungnya kala mencium aroma tidak sedap dari pabrik yang ditinggalkan itu. Entah aroma apa itu, Farikh tidak pernah menghirupnya.

“Kenapa kita ke tempat yang kotor dan bau ini, Bi?” tanya Farikh, suaranya terdengar aneh karena tangannya masih menjepit hidung.

Bibi Nita berdiri di depan Farikh, dia tersenyum tipis dan mengelus pelan rambut Farikh yang hitam. “Bibi dan Paman menyayangimu seperti anak sendiri. Namun, maafkan Bibi jika harus berbuat seperti ini, Bibi tahu kamu anak yang pemaaf. Apa Tuan Muda mau memaafkan Bibi?”

“Apa maksud Bibi?” tanya Farikh tidak paham, belum sampai semenit Farikh menyelesaikan ucapannya, sebuah benda tumpul menghantam kepalanya hingga membuatnya tak sadarkan diri.

“Ini yang dimaksud Bibi,” ucap Paman Rifqi sebelum kesadaran Farikh menghilang.

Saat Farikh terbangun beberapa menit kemudian, yang dia lihat pertama kali adalah kegelapan, ditambah lagi dengan fakta bahwa tubuhnya tidak bisa digerakkan seperti diikat. Masih dalam kegelapan, Farikh berusaha bersuara, tetapi mulutnya disumpal dengan kain.

Sekitar satu jam kemudian, tiba-tiba pintu terbuka membuat ruangan itu terang seketika. Farikh mengangkat kepala, di ambang pintu terlihat siluet tiga orang pria, kedua pria yang berdiri di pinggir kanan dan kiri tampak bertubuh kekar, berotot besar seperti atlet, sedangkan pria yang berdiri di tengah juga tampak kekar dan kuat, tetapi tampak lebih lemah dari kedua pria di sebelahnya.

Pria yang berdiri di tengah mendekati Farikh, tetapi ia tidak bisa melihat wajah pria itu karena memorinya begitu buram, seakan-akan tidak mau mengingat orang itu.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang