Bab 25

33 9 0
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Bunda memandangi ponselnya, kenapa Farikh tidak juga menelepon dan meminta untuk dijemput? Bunda rasa Farikh tidak ada kegiatan apapun pada hari ini setelah pulang sekolah.

Bunda tiba-tiba teringat ucapan Farikh tadi pagi. “Bunda aku berangkatnya naik bus saja, aku ingin coba naik bus. Oh ya, Bunda jangan menjemputku dulu sebelum ku telepon, nanti Bunda menunggu lama.”

Bunda berdiri, dia menutup pintu kamarnya sebelum keluar dan memeriksa kamar Farikh. Bunda menemukan ponsel Farikh tergeletak di nakas. Ia mengambil ponsel itu.

“Bagaimana Farikh bisa menghubungiku kalau dia tidak membawa ponselnya?” gumamnya.

Dahi Bunda tertekuk saat melihat sebuah kertas di nakas, kertas yang tadi ditaruh di bawah ponsel Farikh. Bunda membuka kertas yang terlipat itu, sekilas ia ingat bahwa kertas itu berasal dari buku harian Farikh.

Ada tulisan Farikh di dalamnya. Bunda membaca tulisan itu tanpa suara.

Aku tidak tahu harus menulis apa, tapi aku hanya ingin bilang terima kasih pada Bunda dan Papa. Terima kasih telah menjaga dan menyayangiku selama ini, terima kasih atas segala yang kalian berikan padaku. Aku anak yang sering menyusahkan kalian, walau begitu kalian tidak pernah menyerah saat merawatku, kalian adalah orang tua terbaik.

Untuk Bunda, jangan menangis lagi, jangan khawatirkan aku. Jika Bunda menangis, aku juga akan menangis di sini. Aku berjanji tidak akan menyusahkan Bunda lagi.

Bunda jangan mencemaskan aku lagi, karena ... aku bahagia di sini.

Air mata Bunda menetes mengenai kertas itu. Pikirannya mulai berpikir ngawur. Jika ia melihat keadaan Farikh akhir-akhir ini, dia tampaknya bahagia walau sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya.

Apa Farikh memang sangaja membuat semua orang bahagia sehingga dia tidak menampakkan kesedihannya dan melalui surat ini, dia menyampaikan secara tersirat bahwa dia ingin mengakhiri hidupnya.

“Tidak Farikh.” Bunda menggeleng, dia meremas ponsel Farikh. “Bunda harap kau tidak melakukan hal itu.”

“Mungkin Farikh hanya mampir ke rumah temannya.” Bunda sibuk mencari kontak di ponsel Farikh.

Di sana nomor Arumi paling sering Farikh hubungi. Bunda menekan nomor itu, beberapa menit kemudian panggilan tersambung.

“Halo?” Suara seorang gadis terdengar dari seberang sana.

“Halo? Apa benar ini Arumi temannya Farikh?” tanya Bunda, ada jeda beberapa detik sebelum gadis itu menjawab.

“Iya, Tante. Ada apa ya?”

“Apa kebetulan Farikh ada di rumahmu? Apa hari ini ada eskul yang diikuti Farikh? Atau kau mungkin tahu bila Farikh mampir ke suatu tempat?” tanya Bunda khawatir, terlihat dari suaranya yang tidak sabaran seperti biasanya.

“Tidak Tante. Memangnya Farikh belum pulang? Seharusnya dia pulang sejam lalu.”

“Farikh menghilang. Aku takut jika dia melakukan sesuatu yang membahayakan nyawanya. Dia tampak aneh sejak kemarin dan Farikh juga meninggalkan surat yang secara tersirat mengatakan dia hendak melakukan percobaan bunuh diri.”

***

Farikh duduk di taman, dengan pandangan kosong, dia memandang orang-orang yang lewat. Pikiran dan hatinya kini juga kosong. Dia berdiam diri selama sepuluh menit, tidak melakukan apa pun.

Farikh berdiri, berjalan ke luar taman dan dihadapkan dengan orang-orang yang lebih banyak. Mereka rata-rata remaja seumurannya yang pulang sekolah dan orang-orang dewasa yang pulang setelah bekerja.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang