Keesokan hari setelah kecelakaan Farikh, Arumi terpaksa harus tetap masuk sekolah. Alasan pertama, dia tidak mau ketinggalan ulangan fisika yang sudah disiapkannya kemarin, juga tidak mau menyia-nyiakan rangkuman yang sudah diberikan Farikh kemarin. Alasan kedua, dia tidak mau kena marah Papa dan Mama karena tidak masuk sekolah dengan alasan yang tidak jelas, seperti temannya yang sakit, padahal Arumi baik-baik.
Sepulangnya Arumi dari rumah sakit, ia meminta izin papanya agar dia juga membantu dalam menyelesaikan kasus Farikh.
Papa menghela napas berat. “Kenapa kau selalu membahas hal ini? Papa sudah bilang dari dulu, Papa tidak mengizinkanmu menjadi detektif atau ikut kasus-kasus seperti ini!”
“Tapi ... jadi detektif memang keinginanku dari dulu, Pa. Kenapa Papa melarangku jadi detektif? Apa seorang anak tidak berhak menentukan mau jadi apa saat dia besar nanti? Apa Papa tidak sayang padaku?” tanya Arumi.
“Karena Papa sayang padamu, jadi Papa tidak mengizinkanmu jadi detektif.” Papa memandang wajah Arumi. “Kau satu-satunya anak Papa. Papa tidak ingin kehilangan orang yang Papa sayangi untuk kedua kalinya.”
“Lalu apa hubungannya rasa sayang Papa dengan cita-citaku?”
“Kau belum tahu kejamnya dunia ini. Nyawamu bisa terancam karena jadi detektif, bisa jadi di masa depan kasus yang kau pecahkan itu berimbas pada nyawamu. Ada sebagian orang yang tidak suka kalau sebuah kasus terungkap, orang itu bisa saja membunuhmu.”
Arumi menundukkan kepala. “Kalau begitu, kupastikan di jamanku sudah tidak ada orang seperti itu.”
Arumi menangkat kepala. “Ayo kita buat kesepakatan Pa.”
“Kesepakatan apa?” tanya Papa, wajahnya menampakkan ketertarikan.
“Aku ingin membantu menyelesaikan kasus Farikh. Jika aku berhasil menemukan orang yang menabrak Farikh lebih dulu daripada pihak penyidik, Papa harus mempertimbangkan keinginanku untuk menjadi detektif,” ucap Arumi mantap.
Papa hendak mengucapkan sesuatu, tetapi Arumi buru-buru menambahkan. “Walau aku tahu tim penyidik Papa terbaik di kota ini, yang mana tidak butuh anak kecil sepertiku. Tapi, apa salahnya mencoba?”
Papa dengan berat hati akhirnya mengangguk. “Papa akan memenangkan kesepakatan ini.”
Arumi yakin Papa pasti berpikir jika dia tidak akan berhasil menemukan penjahat itu sebelum tim penyidik Papa. Namun Arumi akan berusaha membuktikan pada Papa jika dia layak menjadi seorang detektif suatu hari nanti.
Arumi kembali fokus pada kertas ulangan di hadapannya, dia membaca soal-soal terlebih dahulu. Semua soal-soal yang ada di sana persis seperti prediksi Farikh, barulah Arumi paham kenapa Farikh sangat pandai dan nilainya hampir sempurna di semua mata pelajaran, prediksinya tepat sekali.
Arumi tiba-tiba teringat Farikh yang menyengir dengan wajah tidak berdosa saat pemuda itu melempar kertas dan mengenai kepala Arumi. Dia teringat bagaimana wajah Farikh yang songong dan terlalu percaya diri itu. Kenapa Arumi tiba-tiba merindukannya? Padahal baru sehari mereka tidak bertemu.
“Saat kalian mengerjakan ulangan besok, jangan terganggu oleh apapun ya? Pokoknya kerjakan saja, kalian lupakan saja aku, jangan terlalu memikirkan kebaikanku.”
Suara Farikh kembali terngiang-ngiang di kepala Arumi. Sekarang dia paham maksud Farikh.
“Tapi kau semakin membuatku memikirkanmu, dasar,” gerutu Arumi.
Arumi menoleh ke sebelah, tempat yang seharusnya diduduki Farikh kini kosong, hanya menyisahkan kekosongan yang janggal, sepertinya ada yang kurang. Lantas pandangannya beralih pada Farel, dia sepertinya melamun. Matanya memandang kosong bangku di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Lovers [TERBIT]
Teen Fiction[Tersedia di Shopee dan Tokopedia] "Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku." Farikh sangat menyayangi Kak Rena, tapi Tuhan lebih menyayangi Kak Rena. Hingga suatu hari, dia dipertemuk...