Bab 13

65 15 5
                                    


Rikha duduk di halte sembari mengelap air matanya yang membuat wajahnya membengkak. Dia masih sesenggukan walau berusaha untuk tidak lagi menangis.

Rikha tidak tahu kenapa tiba-tiba dia menangis. Semua orang terasa mengkhianatinya, orang tuanya yang menuntutnya agar dia sebaik Lubis, guru sekolah yang menyuruhnya memperbaiki nilai dan belajar, Aran yang sebenarnya tulus mencintainya membuatnya serba salah karena Rikha mengabaikannya, juga Farikh yang selama ini mempermainkannya, malah mendapat perhatian lebih besar dari Rikha.

“Kenapa tidak ada bus yang datang?” gumam Rikha, dia melihat jam tangannya. “Pukul lima?”

“Ka! Ayo naik!” seru seseorang setelah dia menepikan sepeda motornya.

“Aran?” gumam Rikha, walau pemuda itu tidak melepas helmnya, Rikha sudah hafal betul motor yang digunakan Aran.
Rikha mendekati motor Aran. “Mau ke mana?”

Aran membuka kaca helm. “Aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk menenangkanmu, ayo naik!”

Rikha menggeleng. “Aku tidak apa-apa, lagi pula aku harus pulang, ini hampir petang.”

“Kau tidak baik-baik saja.” Aran tetap bersikeras. “Tenang, aku akan mengantarmu pulang setelah ini, janji tidak akan lama.”

Rikha berpikir sejenak dan akhirnya menyetujui Aran. Pemuda itu menyodorkan helm cadangannya pada Rikha. Gadis itu naik motor Aran dengan hati-hati dan Aran melajukan motornya dengan kecepatan sedang
Aran menghentikan motor di sebuah minimarket. Pemuda itu meminta Rikha untuk menetap di sebelah motornya sementara ia yang akan membeli es krim. Rikha celingukan, sekitarnya sepi, jarang orang berlalu lalang.

Setelah menunggu beberapa menit, Aran datang, bukan membawa es krim melainkan minuman berisotonik yang berjumlah dua. Dia memberikan satu minuman itu pada Rikha.

“Kenapa nggak beli es krim?” Rikha membuka tutup botol.

Aran menegak minumnya. “Setelah kupikir-pikir, es krim tidak baik untukmu, kau butuh energi jadi aku beli minuman ini.”

Rikha memperhatikan wajah Aran, dia baru menyadari kalau wajah pemuda itu babak belur seperti habis dipukul seseorang.

“Ran, kenapa wajahmu membiru? Habis berantem?” tanya Rikha khawatir.

Aran mengangguk, dia meremas botol yang isinya telah tandas dan melemparnya di tempat sampah terdekat.

“Sama siapa? Kok sampai bisa kena pukulan? Bukannya kamu bisa bela diri?” Rikha menutup botol minumnya yang tinggal setengah.

“Sama adik kelas yang gangguin kamu tadi,” jawab Aran singkat.

Rikha menunjukkan ekspresi terkejut. “Sama Farikh? Bagaimana kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya sekarang?”

Aran memasang wajah cemberut. “Aku yang ada di sini dan kau malah menghawatirkan Farikh, sebegitu pentingkah Farikh itu bagimu?”

Rikha menggeleng. “Bukan begitu. Aku hanya khawatir dengannya, kau bisa bela diri, aku bisa mengandalkanmu. Kalau Farikh, dia tidak terlihat seperti jago bela diri. Bagaimana keadaan Farikh?”

“Dia terluka dan pingsan ... mungkin,” jawab Aran sekenanya.

“Pingsan? Kita harus menolongnya,” ujar Rikha khawatir.

Aran menghentikan langkah Rikha, dia menggeleng tegas. “Tidak perlu. Dia tidak selemah itu. Lagi pula sudah ada yang menolongnya tadi, teman cewek sekelasnya.”

“Siapa?”

Aran menggeleng lagi. “Nggak kenal.”

Rikha menghela napas. Dia menatap iris hitam Aran, saat marah dia mengerikan juga, Rikha tidak pernah melihat Aran yang seperti itu.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang