Bab 6

124 25 5
                                    

Farikh kembali masuk sekolah setelah cuti sehari. Sejak pagi teman-temannya sibuk, entah apa yang mereka sibukkan, Farikh hanya diam saja, malas bertanya.

Pelajaran jam pertama dimulai, waktunya kimia. Waktu guru kimia masuk, teman-teman langsung terdiam, sebagian besar cepat-cepat membaca buku kimia, seperti ingin menghabiskan buku itu dalam waktu semenit.

Melihat gelagat teman-temannya, apalagi Farel yang tidak banyak tanya seperti biasanya karena Farikh tidak masuk sehari, muka pak guru—Farikh tidak menggingat nama guru kimia, terlalu banyak nama guru yang harus dia ingat—yang serius dan kini sibuk mencari-cari sesuatu di tasnya, tidak salah lagi.

“Apa hari ini ulangan kimia?” tanya Farikh pada Farel.

“Iya, kau tidak tahu?” tanya Farel.

Tuh, kan, batin Farikh.

“Mana bisa aku tahu, kemarin aku tidak masuk,” jawab Farikh, dia buru-buru membuka buku kimianya.

“Iya, aku tahu kau tidak masuk. Tapi aku sudah mengirimimu pesan, dan di grup teman-teman juga membahas ulangan itu. Tidak kaubaca?” Farel terlihat kesal saat melihat pak guru menemukan soal ulangan yang sedari tadi dicarinya di tas.

Farikh menggeleng. “Aku hanya menggunakan ponsel untuk bermain game.”

Pak guru mengintruksikan kepada murid-murid untuk mengumpulkan buku di depan. Selama ulangan, tidak boleh kerja sama, menyontek, atau membuka buku. Itu yang dia katakan.

Farikh buru-buru menumpuk buku kimianya di depan, dia tidak akan menyontek teman-temannya, karena percuma, mereka juga tidak bisa, ia juga tidak akan membuka buku, kan bukunya ditumpuk. Kalaupun Farikh berniat curang dengan tidak menumpuk bukunya, dia juga tidak akan menemukan materi itu di bukunya, karena dia kemarin tidak masuk, dan tentu saja dia tidak mencatat materi kemarin. Farikh hanya pasrah dengan otaknya, waktunya mengarang bebas.

Pak guru menulis soal di papan, Farikh mengeluarkan lembar ulangan dari tasnya—beruntung dia selalu membawa lembar ulangan di tasnya—dan segera menuliskan identitasnya.

“Hei.” Farikh menoleh pada Farel.

“Jangan bilang mau minta diconteki, aku juga nggak bisa,” Farel memotong ucapan Farikh.

Farikh menggeleng, siapa juga yang minta dicontekin. “Aku tahu kau nggak bisa, makanya aku nggak memintamu menyontekiku. Aku hanya mau tanya, siapa nama guru kimia kita?”

“Pak Hadi,” jawab Farel cepat.

Farikh ber-oh tanpa suara, hanya bibirnya yang berbentuk bulat dengan kepala yang diangguk-anggukan.

Farikh menyalin soal di papan tulis dengan cepat, sepuluh soal. Dia memandang soal-soal itu, keningnya berkerut, di sebelahnya Farel sudah mengeluarkan dengusan bahkan saat membaca soal pertama. Farikh tersenyum tipis. Waktunya mengarang bebas, dimulai!

***

Pak Hadi, termasuk guru yang terlalu bersemangat, saat istirahat kedua, Farikh dipanggil ke kantor guru untuk menemui Pak Hadi, dia memberi lembaran ulangan kimia tadi, sudah dinilai.

“Wah, Bapak cepat sekali mengoreksinya,” ucap Farikh, yang sebenarnya tidak memuji kinerja Pak Hadi dengan sepenuh hati.

“Saya tidak suka menunda-nunda pekerjaan, kalau dilakukan sekarang, akan saya lakukan, tidak menunggu nanti-nanti,” jawab Pak Hadi.

Farikh mengangguk-angguk. Pak Hadi itu contoh yang baik bagi remaja seumuran Farikh, tetapi sayangnya Farikh tidak bisa menerapkan apa yang Pak Hadi ajarkan.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang