Bab 18

54 13 0
                                    

Arumi berhasil mengejar Farikh yang mau sembarangan menyeberang tanpa memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Dia berhasil meyakinkan Farikh dan berhasil membawanya pulang. Rena bilang kalau Arumi memang pandai membujuk dan menenangkan orang, hal itu dibuktikan saat kematian kakaknya, Arumi yang menyakinkan keluarganya agar permasalahan Rena diselesaikan secara kekeluargaan, tidak perlu melalui jalur hukum.

Arumi sekarang berdiri di depan pintu rumah Farikh dengan pemilik rumah itu yang masih terdiam di tempatnya, entah apa yang ada di pikiran Farikh, dia sedari tadi diam dan melamun. Arumi terpesona dengan rumah Farikh, selain bagus, rumah susun tiga itu mewah dan kentara sekali rumah seorang konlomerat. Namun yang membuat Arumi terpesona yaitu saat sekolah, Farikh tidak pernah menyombongkan kekayaannya, dia sangat rendah hati.

“Farikh? Apa kita akan berdiri di sini sepanjang hari?” tanya Arumi.

Farikh tidak menjawab, dia hanya diam memandang lantai pualam dengan pandangan kosong. Air menetes dari ujung rambut Farikh, begitu juga dengan seragam Farikh yang basah kuyup. Arumi mendengus, kalau saja rumah Farikh bisa dibuka dengan kunci, bukannya dengan kata kunci atau sidik jari, pasti Arumi tidak akan kesulitan.

“Berapa kata kuncinya?” tanya Arumi cepat.

“Hari ulang tahunku,” jawab Farikh pelan. Akhirnya pemuda itu menyahut setelah sedari tadi Arumi rasanya seperti orang gila yang bicara sendiri sama patung berjalan.

Arumi mengerutkan dahinya, dia tidak ingat kapan Farikh dilahirkan, padahal kakaknya dulu pernah cerita. Pertanyaan lain menganggu pikirannya, memangnya kata kunci rumah bisa sampai delapan digit? Arumi tidak tahu karena dia tidak pernah mendatangi tempat yang pintu masuknya ada kata kunci.

“Hari yang sama saat kematian Kak Rena,” ucap Farikh lagi, datar tanpa ekspresi.

Arumi mengangguk, sedikit merasa bersalah karena membuat Farikh harus teringat kematian Kak Rena-nya. Arumi menekan kata kunci di layar.

“25022004,” ucapnya sembari menekan angka-angka dan pintu tidak terbuka terbuka. “Mungkin kebanyakan.”

Arumi menekan kembali angka-angka yang ada di sana. “250204.”

Pintu akhirnya terbuka.

Saat dia melangkahkan kaki ke dalam rumah, Arumi tidak bisa berhenti mengagumi rumah Farikh yang semewah istana, dia tidak berlebihan, tetapi rumah Farikh yang terlalu berlebihan mewahnya. Namun satu hal yang mengganjal di pikiran Arumi, kenapa rumah sebesar ini seperti rumah mati? Seperti tidak ada kehidupan, tidak ada pembantu rumah tangga ataupun satpam seperti rumah orang kaya pada umumnya, juga tidak ada hewan peliharaan seperti di rumah Arumi.

Farikh tiba-tiba terhuyung, membuyarkan lamunan Arumi. Gadis itu buru-buru menangkap tubuh Farikh walau hal itu membuatnya bersusah payah. “Kau tidak apa-apa? Aku akan mengantarmu ke kamarmu, di mana kamarmu?”

Wajah Farikh memucat. “Di lantai tiga, dekat lift.”

Seharusnya Arumi tercengang dengan fakta yang barusan didengarnya, rumah ada liftnya? Bukankah itu gila! Tetapi dia tidak punya waktu untuk merasa tercengang, dia takut Farikh kenapa-kenapa karena sepertinya sistem ketahanan tubuh Farikh sedang melemah.

***

Arumi hendak membaringkan Farikh di ranjang, tetapi Farikh bersikeras untuk duduk dan gadis itu tidak bisa memaksa Farikh. Dia melepas sepatu dan kaus kakinya, lalu pikirannya entah melayang ke mana, Farikh terdiam lagi, pandangannya fokus pada foto di atas nakas.

Arumi mengikuti arah pandang Farikh, matanya menangkap sebuah pigura kecil dengan foto Farikh dan Rena saat SMP, mereka tersenyum ke arah kamera dan Farikh merangkul Rena. Arumi tersenyum tipis, teringat bagaimana dengan semangat empat-lima kakaknya menceritakan foto itu kepadanya dulu.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang