Bab 8

101 17 12
                                    

Di meja belajarnya, Farikh sibuk menulis sesuatu di buku kenangannya—buku yang dia tulis tentang kenangannya saat bersama Rena.

Pukul enam pagi, Farikh sudah tampak keren dengan seragamnya yang melekat sempurna di badan, rambut yang sudah dirapikan dan penampilannya yang tidak diragukan lagi, pasti sama kerennya seperti Farikh.

Dia menulis tentang persamaan yang dimiliki Rena dan Rikha. Farikh bukan bermaksud membanding-bandingkan mereka berdua, ia hanya ingin memastikan prosentase kemiripan mereka, jika sifat Rena dan Rikha benar-benar sama, berarti mereka adalah orang yang sama karena Farikh tidak pernah menemukan dua orang dengan sifat yang sama persis walau mereka kembar identik.

“Wajah mereka sama, senyumnya masih seperti dulu, suaranya yang menenangkanku masih sama, kesukaannya dengan jus jambu biji tidak berubah,” ujar Farikh sembari memberi tanda centang di catatannya. “Apa lagi? Aku jarang bersama Kak Rikha, jadi tidak begitu tahu .... Iya, mereka sama-sama kecelakaan di hari, tempat dan waktu yang sama.”

Farikh menulis lagi list yang harus dilakukan agar dia mengetahui kebenaran tentang Rikha. “Menonton film, belanja, beli es krim ... itu semua yang disukai Kak Rena, benar-benar seperti cewek—eh, dia kan memang cewek.”

Saat Farikh sibuk menuliskan list yang harus dia lakukan bersama Rikha, Bunda tiba-tiba masuk ke kamarnya, dia menggunakan jas putih khas dokter dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Farikh sedang apa?” tanya Bunda lembut, dia mendekati Farikh yang sibuk menulis.

Farikh buru-buru menutup bukunya saat melihat Bunda mendekat, dia nyengir lebar. “Aku sedang menulis.”

Farikh cepat-cepat memasukkan buku itu di tas sebelum Bunda bertanya lebih lanjut. “Bun, ayo berangkat sekarang sebelum Bunda terlambat.”

Bunda mengangguk, mengelus pelan kepala Farikh. “Bunda tunggu di depan.”

Farikh mengangguk, lantas tersenyum tipis. Dia berdiri dan mengambil tasnya dan keluar kamar. Farikh berjalan beberapa langkah hingga sampai di depan lift, ia menekan tombol di lift dan lift terbuka, lantas ia masuk lift dengan santai.

Sesampainya di mobil Bunda, Farikh memilih duduk di jok belakang.

“Tumben duduk di belakang?” tanya Bunda sembari memasang sabuk pengaman.

“Aku mau tidur dulu Bunda, lumayan dapat setengah jam, karena semalam aku tidak bisa tidur, takut tidur sendirian,” jawab Farikh.

Bunda menoleh ke belakang, wajahnya terlihat khawatir. “Apa Farikh mimpi buruk lagi?”

Farikh mengangguk, mendekat ke Bunda dan berbisik, “Iya, Bun, tentang ruang yang gelap.”

Bunda mengelus pelan kepala Farikh dan memberikan senyuman yang tulus. “Tidak apa-apa, nanti malam Bunda akan menemanimu. Selama ada Bunda kau aman, jangan takut dengan kenangan buruk itu.”

Farikh mengangguk, dia kembali ke tempat duduk, tetapi bukan duduk seperti pada umumnya, dia menggunakan kedua jok mobil untuk berbaring dengan kaki yang diluruskan ke atas dengan tumpuhan kaca mobil. Bunda tidak akan memarahinya karena itu sudah menjadi kebiasaan Farikh sejak kecil, biasanya Papa dan Bunda duduk di depan dan Farikh tidur di belakang. Dan sampai sekarang dia tidak bisa menghilangkan kebiasaannya itu.

Bunda melirik Farikh sekilas sebelum menjalankan mobil, dia menyesal karena tidak bisa menghabiskan waktu bersama anaknya terus menerus karena kesibukannya di rumah sakit, sedangkan Papa jarang di rumah, dia sibuk dengan perusahaan yang dipercayakan orang tuanya yang nantinya akan diwariskan pada Farikh.

Di rumah sebesar itu hanya ada Farikh seorang, Bunda memang sengaja tidak mempekerjakan pembantu rumah tangga atau satpam sejak Farikh kelas enam SD, dikarenakan suatu alasan penting, untuk keselamatan Farikh.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang