Bab 22

39 11 0
                                    

Rikha tidak bisa fokus saat bersih-bersih di lapangan, dia dapat bagian menyapu daun-daun yang berserakan bersama dengan Tyara, teman-temannya yang lain juga ikut membantunya—lebih tepatnya membantu Aran—menjalani hukuman. Sekarang di lapangan ada, Tio, Mark, Rina, dirinya, Tyara, Aran dan lebih mengejutkannya lagi, ketua kelasnya, Shawn juga ikut membantu, padahal dia yang biasanya ogah-ogahan bersih-bersih kelas, piket saja bisa dihitung jari berapa kali dia melakukannya sejak kelas sepuluh.

Pikirannya terbayang akan perkataan Farikh, tentang Rena, orang yang katanya mirip dengannya. Rikha masih tidak percaya jika tabrakan itu menyebabkan Rena meninggal. Kalau saja waktu itu Rikha tidak mampir untuk belanja dan langsung pulang setelah sekolah, mungkin kejadian itu tidak akan terjadi, mungkin ia bisa berteman dengan Rena dan mungkin Farikh tidak akan merasakan kesedihan yang begitu dalam karena kehilangan orang yang disayanginya.

Rikha merasa kecewa karena keluarganya tidak memberitahukan padanya tentang kecelakaan itu, mereka menyembunyikan fakta bahwa orang yang tertabrak itu perempuan dan dia sudah tiada. Rikha bahkan tidak meminta maaf pada keluarga korban.

Rikha juga menghawatirkan keadaan Farikh, lukanya tadi lumayan parah. Apalagi saat dia dan Aran mendengar dari Arumi bahwa Farikh sering melukai dirinya sendiri. Apa itu karena Farikh tahu jika Rena sudah tiada?

Lalu saat di UKS, Rikha tidak salah dengar saat Arumi mengatakan bahwa Farikh kumat lagi, mungkin yang dimaksud Arumi itu PTSD Farikh kambuh lagi. Rikha tidak tahu apa yang dialami Farikh hingga dia trauma seperti itu. Farikh telah mengalami banyak hal sulit dan Rikha menambahnya dengan merenggut orang yang disayangi Farikh.

Tanpa sadar air mata menetes dari pelupuk mata Rikha yang dari tadi sudah basah.

“Rikha? Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Tyara khawatir.

Rikha mengangguk, dia menghapus air matanya cepat-cepat. “Aku baik-baik saja.”

“Saat wanita bilang baik-baik saja, berarti dia dalam keadaan yang tidak baik-baik saja,” celetuk Mark sembari tangannya sibuk membawa cikrak yang berisi daun-daun.

***

Rikha mengetuk pintu rumahnya dan Lubis yang menyambutnya pertama kali. Mata Rikha sembab walau dia sudah mencoba menyembunyikannya, entah dengan mencuci mukanya atau dengan cara lain.

“Kenapa kau pulang terlambat?” tanya Lubis. “Ayo makan bersama, kebetulan Papa dan Mama sudah datang, kami menunggumu.”

Rikha menundukkan kepala, dia tidak merespons ucapan Lubis. Rikha berjalan masuk, melewati Lubis yang bertanya-tanya, karena adiknya itu tidak pernah seperti itu sebelumnya, jika dia mendengar Papa dan Mama pulang, dia yang paling semangat.

Lubis mengikuti Rikha di belakang, dia melewati ruang makan di mana Papa dan Mama duduk, Rikha terus berjalan sampai di lantai dua dan mengabaikan keberadaan orang tuanya, Rikha lantas masuk ke kamarnya.

“Adikmu kenapa? Tidak biasanya dia begitu? Apa ada masalah?” tanya Mama sembari menatap kepergian Rikha.

Lubis mengedikkan bahu. “Tidak tahu, Ma. Rikha datangnya terlambat dan matanya tadi sembab seperti habis nangis.”

“Coba kau datangi, mungkin ada masalah dengannya,” saran Papa.

Lubis mengangguk. Ia menyusul Rikha menuju kamarnya. Lubis hendak mengetuk pintu Rikha, ia menghentikan tangannya saat mendengar suara tangisan Rikha dari dalam yang semakin lama semakin menjadi-jadi.

“Kalian jahat.” Samar-samar Lubis mendengar suara Rikha dari dalam, sesekali diselingi tangisan.

Lubis membuka pintu kamar Rikha. Adiknya itu dalam posisi tengkurap di ranjang, wajahnya ditenggelamkan di bantal membuat suara tangisnya teredam. Lubis duduk di tepi ranjang, dia menyentuh pelan bahu Rikha, membuat gadis itu menoleh.

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang