Bab 17

55 12 0
                                    

Lubis meremas bungkus es krim yang sudah dia makan, Rikha menghitung sudah tiga es krim yang dihabiskan kakaknya, satu es krim yang sengaja dia beli saat awal mereka datang ke minimarket, lalu Lubis memakan es krim Rikha karena dia tidak ingin makan es krim saat cuaca dingin. Dan es krim ketiga Lubis beli saat hujan tak kunjung berhenti.

Rikha sibuk memperhatikan Farikh dan Arumi yang masih hujan-hujanan dan saling berdebat, Lubis hanya memperhatikan dengan wajah datar sembari memakan es krimnya.

Lubis melempar bungkus es krim ke tempat sampah dan berjalan santai menuju pintu. “Ayo kembali ke rumah sakit, aku tahu kau menghawatirkan Aran.”

Rikha keluar minimarket dan duduk di motor kakaknya. Entah kenapa sekarang mood Rikha buruk, dia menghawatirkan Aran yang belum siuman dan dia juga menghawatirkan Farikh karena—

“Sudah, jangan menghawatirkan Farikh, dia baik-baik saja,” celetuk Lubis seakan-akan bisa membaca pikiran Rikha.

“Kakak sok tahu, siapa juga yang mikirin Farikh.” Rikha memukul pelan punggung Lubis.

“Pegangan!” seru Lubis.

Belum genap Rikha berpegangan, Lubis menarik gas motornya dengan cepat hingga membuat Rikha memekik kaget dan refleks memeluk pinggang kakaknya kalau dia tidak ingin mati lebih cepat. Di beberapa kesempatan Rikha sempat menoyor kepala kakaknya.

“Kakak ingin kita mati? Jangan ngebut! Kakak selalu melarangku ngebut dan sekarang Kakak sendiri yang ngebut!” seru Rikha, berusaha mengalahkan deru motor dan mobil pengendara lain.

“Karena aku kakakmu, aku berhak melarangmu dan kau tak berhak melarangku karena kau adikku, kau kalah tua.” Lubis tertawa.

Rikha memutar bola mata, mencibir, “Yah, dasar tua.”

Rikha merapatkan tangannya yang melingkar di pinggang Lubis karena kakaknya itu mulai ngebut lagi. Rikha tersenyum, kakaknya memang aneh, mulai selera makanannya, perilakunya, walaupun begitu, dia sangat peduli dengan Rikha. Lubis itu moodboster-nya Rikha, sebenarnya Rikha juga tahu kalau kakaknya bersikap gila di hadapannya itu hanya untuk menghiburnya.

“Kak Lubis segalanya bagiku,” bisik Rikha pelan.

“Kau bilang apa tadi?” Lubis memelankan motornya, tidak menyangka jika Lubis mendengar ucapannya.

“Tidak ada. Lupakan.”

***

“Dia masih belum bangun?” gumam Rikha sesampainya di ruang rawat inap Aran, dia menoleh pada Lubis yang bersandar di dinding. “Kak, apa lukanya parah sampai dia tidak bangun sampai sekarang?”

“Seharusnya dia sudah bangun tadi pagi, masa kritisnya sudah lewat, aku juga tidak tahu kenapa, mungkin karena dia tidak ingin bangun,” jawab Lubis santai.

“Apa maksudnya tidak mau bangun? Kakak jangan membuatku takut.”

Lubis terkekeh. “Kau mencintainya bukan? Jangan mengelak, aku tahu dari pancaran matamu, Ka. Kau dari tadi menghawatirkan dia, tidak fokus saat diajak bicara, tidak mau makan es krim, moody-an.”

“Kak, mau kulempar sandal?” Rikha memandang jenuh. “Aku serius, Kak.”

“Aku lebih serius, Ka,” jawab Lubis, membuat Rikha semakin kesal. “Dia baik-baik saja, tadi saat kita pergi, dia sudah bangun, mungkin sekarang dia cuma tidur.”

Rikha menghela napas lega. “Syukurlah. Dia membuat kesal saja, aku khawatir setengah mati sampai tidak bisa tidur.”

Lubis terkekeh. “Kau tanpa sadar menjawab pertanyaanku, Ka. Aku akan merestui seandainya kalian ingin bersama.”

Broken Lovers [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang