Farikh memperhatikan kakinya yang telah dioperasi pengambilan pen—salah satu jenis implan yang digunakan untuk memperbaiki kerusakan tulang—beberapa hari lalu. Kini Farikh sudah bisa berjalan tanpa bantuan alat lagi, tetapi dia tidak bisa memaksakan kakinya terlalu sering.
Farikh mengambil ponselnya yang ada di nakas, jam enam pagi. Sejak dua hari yang lalu Farikh sengaja tidak menghubungi Arumi ataupun lainnya. Farikh bahkan tidak mengizinkan siapapun untuk mengunjunginya, dia membutuhkan waktu untuk sendiri.
"Dia pasti masih ada di rumah," gumam Farikh sembari menelepon Arumi.
"Farikh?"
"Ya, ini aku. Apakah kau—"
Arumi memotong perkataan Farikh. "Kenapa baru bisa dihubungi? Kau ke mana saja selama dua hari ini? Kenapa hape mu mati? Jangan suka menghilang. Setelah kau mimisan kemarin kau tidak apa-apa kan, Rikh? Apa ada yang—"
Farikh menjauhkan ponsel dari telinganya karena dia masih sayang sama pendengarannya, bisa-bisa dia tuli karena suara Arumi yang cempreng itu tidak berhenti. "Hei, hei. Aku baik-baik saja, tenang Arumi."
"Ups, maaf." Ada jeda sebentar sebelum Arumi melanjutkan. "Kenapa kau meneleponku pagi-pagi?"
"Kau masih di rumah, 'kan? Belum berangkat sekolah?" tanya Farikh, dia memperhatikan tiket yang ada di pangkuannya.
"Uhm, iya. Aku sebentar lagi berangkat. Memangnya kenapa?"
"Oke. Kau bisa mampir ke sini sebentar? Aku mau nitip sesuatu untuk Kak Rena, berikan sebelum malam ya."
Farikh memutuskan panggilan sebelum Arumi protes. Pemuda itu meletakkan ponselnya di atas nakas, dia menaruh satu tiket di bawah ponsel dan tiket satunya dia bawa ke ruang tamu. Saat Farikh baru tiba di ruang tamu, Bunda meneriakinya dan mengatakan kalau Arumi menunggu di depan.
"Suruh dia masuk, Bun," balas Farikh.
Arumi mengucapkan salam pada Bunda yang membukakan pintu. Dia ditemani Bunda menuju ruang tamu, Farikh duduk di sofa memandang Arumi dan Bunda bergantian.
"Bunda tinggal dulu ya," ucap Bunda.
Farikh dan Arumi mengangguk. Dari dalam terdengar suara Papa yang mengajaknya cepat-cepat sarapan.
Arumi mengganti ekspresi wajahnya menjadi jutek saat Bunda sudah tidak ada di ruang tamu. Farikh tersenyum lebar yang mana lebih mirip cengiran tengil. "Sudah sarapan? Kalau belum kau bisa sarapan bersamaku."
"Malah cengar-cengir." Arumi mendengus. "Kenapa pagi-pagi menyuruhku ke sini?"
Farikh mengubah wajahnya menjadi serius. "Sepertinya mood-mu sedang buruk."
Farikh meraih tangan Arumi dan memberikan tiket yang dari tadi dia pegang. Arumi menunduk, memperhatikan benda yang diberikan Farikh.
"Tiket nonton?" tanyanya.
Farikh mengangguk. "Berikan pada Kak Rena nanti, katakan padanya di bioskop biasanya, jam tujuh malam, aku tunggu di KFC."
Arumi mengangguk-angguk, dia memasukkan tiket itu ke tasnya. "Sudah? Tidak ada lagi? Kalau begitu aku berangkat dulu."
"Oh ya, satu lagi," ucap Farikh, membuat Arumi yang sepertinya buru-buru menjadi berbalik arah.
Arumi mengangkat alisnya.
"Terima kasih," ujar Farikh lantas tersenyum. "Kau nanti pulang jam berapa? Aku ingin menjemputmu."
"Tidak, kau masih sakit—sepertinya kakimu sudah sembuh." Walaupun begitu, Arumi tetap menggeleng. "Aku pulangnya masih lama, ada eskul. Lagi pula kau tidak perlu menjemputku. Kau kan sudah punya pacar, tidak perlu memperhatikan gadis lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Lovers [TERBIT]
Teen Fiction[Tersedia di Shopee dan Tokopedia] "Tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah ditinggal orang yang disayanginya, begitu juga denganku." Farikh sangat menyayangi Kak Rena, tapi Tuhan lebih menyayangi Kak Rena. Hingga suatu hari, dia dipertemuk...