1

1.7K 92 8
                                    

Fian's pov
13:00 WITA

Acara baru saja selesai, masih banyak keluarga yang berada di lokasi dan ada juga beberapa yang berjalan menuju pantai untuk bermain air. Aku masih duduk bersama Kak Umin, Bagas, Tata, Pak Sahal, Citra, Haikal, dan Afrin. "Ayo main air!" Bagas menarik Tata yang bahkan belum menjawab. Haikal dan Afrin berlari menyusul pasangan ajaib ke arah pantai.

"Sebentar!" Tata melepas sepatu hak tingginya begitu Bagas menghentikan langkahnya.

Dengan indahnya Tata melempar sepatu ke space kosong di sebelah meja. Mereka lanjut berlari dan berteriak seperti anak-anak, Haikal dan Afrin bergabung bersama mereka. Disusul Pak Sahal dan Citra yang bergandengan ke arah pantai, tinggalah aku dan Kak Umin.

Mataku teralih memandang meja yang diduduki Papa, Mama, Mbak Arin, dan Mas Fahri. Entah kenapa sejak tadi aku melihat Mbak Arin tidak seaktif biasanya, dan sifatnya berubah sangat manja pada Mama.

"Kau mau main air?" suara Kak Umin membuat pandanganku teralih.

"Dengan pakaian seperti ini?"

"Kenapa tidak?" aku tersenyum dan mengangguk.

Kak Umin berdiri dan melepas sepatu pantofel yang sejak tadi dipakainya. Aku mendorong kursi yang ku duduki dan menunduk untuk melepas sepatu hak tinggi yang ku kenakan. Eh, kenapa kaitan sepatu ini tidak mau terlepas?
Sepertinya Tata menarik talinya terlalu kencang dan sekarang sulit menggerakkannya.

"Tidak bisa?" aku mendongak dan mengangguk. Mataku membulat sempurna saat melihat Kak Umin berjongkok, kedua tangannya terulur membantuku melepaskan kaitan sepatu.

"Sudah." Kak Umin mendongak dengan gummy smilenya. Tangannya menggenggam tangan kananku, aku berdiri dan melepaskan sepatu yang menyiksa kakiku sejak tadi.

"Mbak tidak mau main air?" tanyaku pada Mbak Arin yang merangkul Mama dan Papa, mulutnya penuh dengan makanan. Mas Fahri dengan Ania sudah menyusul yang lainnya ke pinggir pantai.

"Tidak, Mbak mau disini saja dan makan banyak." katanya dengan senyuman membuatku semakin yakin ada yang aneh dengannya. Aku memandang Mama dan Papa yang juga tampak bingung dengan perubahan sikap Mbak.

"Oke." kataku berbalik dan berjalan menuju pantai dengan Kak Umin.

"Kak, sepertinya ada yang aneh dengan Mbak." Aku memandang Kak Umin yang menatapku dengan kening mengkerut. "Kakak tidak merasakannya?"

"Tidak."

"Hmm, mungkin hanya perasaanku saja."

"Mau duduk disana?" aku mengangguk saat Kak Umin menunjuk tempat teduh di bawah pohon kelapa. Kami berdua duduk menghadap laut, lumayan terik mengingat ini masih siang. Tapi tidak masalah bagiku, bersama Kak Umin terasa dingin.

He he he

"Kamu cantik." Aku menatap Kak Umin yang menatapku dengan gummy smilenya yang tak pernah luntur sejak tadi. Aku memalingkan wajahku begitu merasakan hawa panas di wajahku.

Aku merasakan sesuatu yang aneh di perutku, seperti kupu-kupu menggelitikinya. Kak Umin mengelus punggung tangan kananku yang di genggamnya. "Kakak tidak percaya ini, akhirnya setelah melalui banyak drama kita menikah." Aku terkekeh mengingat kembali kejadian-kejadian yang kami lalui dulu.

"Aku juga."

"Mulai sekarang kita bersama, hingga maut memisahkan." Aku mengangguk setuju. Memiliki suami seperti Kak Umin adalah harta paling indah dalam hidupku.

"Tiga!"

Aku terkejut saat tiba-tiba tubuhku ditarik menjauh dari Kak Umin hingga gandengan kami terlepas setelah teriakan Bagas terdengar. Aku mendongak menatap Ania, Citra, Tata, dan Afrin mengangkat tubuhku. "Kalian mau apa? lepaskan!" teriakku meronta setelah menyadari mereka membawaku ke laut.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang