Untold Story 3

208 28 3
                                    

Aku hanya merindukan mereka. Maaf jika feelnya kurang dapet, aku cuma gabut aja.

-Zalumin&Zafian Untold Story-

Fian’s pov

“Umma, bangun.” Tangan seseorang yang terasa dingin menepuk-nepuk pipiku setelah suara lembut suamiku terdengar. Aku tidak mengatakan apapun, hanya menarik selimut hingga kepala.

“Umma, sebentar lagi adzan subuh. Ayo bangun.” Kak Umin menarik selimut perlahan, tangannya mengelus pipiku.

“Umma, ayo bangun.” tepukan di pipinya lebih keras. Aku menyingkirkan tangan dinginnya dari pipiku.

“Sebentar lagi, Bi. Abi adzan saja dulu, nanti Umma pasti datang sebelum iqamah.” Aku hanya mendengar helaan napas panjang dan itu membuatku tersenyum senang.

Ceklek

“Umma belum bangun? Astagfilaladim!” (Ini bukan typo gaes.)

Oh, baru saja aku hidup tenang.

Tiba-tiba ku rasakan pergerakan di sampingku, “Salman, jangan melompat di samping Umma.” Aku membuka mataku dan melihat Salman yang berada di pelukan abinya. Salman sudah besar, sekarang dia bisa memakai baju koko sendiri dan tak lupa memakai peci.

“Kenapa? Biar Umma bangun, Abi. Jika Abi membangunkan Umma dengan cara seperti itu Umma tidak akan bangun. Harus dengan cara yang es krim.” Kak Umin tertawa mendengar celotehan bocah 4 tahun itu.

“Ekstrim.” ralat Kak Umin.

“Ya itu pokoknya.”

Aku mendengus dan menatap ke arah mereka, “Umma sudah bangun, kalian berangkat ke masjid saja dulu.” Aku berusaha duduk dengan susah payah, ini karena perut besarku yang semakin hari semakin berat saja.

Salman yang melihatku sedang berjuang turun dari gendongan abinya dan berlari ke arahku. Ia memegang tanganku dan menopang punggungku dengan tangan kirinya.

“Hati-hati.” Aku tak bisa menahan diriku untuk menghujani wajahnya dengan ciuman. Melihatku tak juga duduk, Kak Umin mengulurkan tangannya dan membantuku.

“Apa yang terjadi jika aku dan Salman pergi ke masjid duluan?” aku tersenyum lebar ke arah ayah dari anak-anakku ini. Kak Umin membantuku berdiri, begitu juga dengan Salman dan tangan kecilnya.

“Iya, iya. Terimakasih Abi, terimakasih Mas Salman.” Salman tersenyum lebar memeluk perut besarku. Aku mengelus kepalanya yang tertutup peci, “Umma wudhu dulu ya.”

“Oke. Salman dan Abi tunggu di depan.”

“Ya.” aku berjalan perlahan ke arah kamar mandi, tanganku mengelus perut besarku setelah menutup kamar mandi.

“Selamat pagi adek, sudah siap menjalani hari?” aku menghela napas panjang dengan senyuman lebar. Hanya menghitung hari hingga bayi kecil dalam kandunganku ini lahir. Aku sudah tidak sabar memeluknya dan menciumi seluruh wajahnya. 

“Aku harus bersabar.” Aku menyalakan kran dan mulai berwudhu, sebaiknya aku cepat sebelum Kak Umin dan Salman menggedor pintu.

Oh ya, di kehamilanku yang ketiga ini dihadapkan dengan ke-overprotektif-an dari dua laki-laki yang ku cintai, Kak Umin dan Salman. Kami sepakat menamainya Syama, maksudku namanya saat masih dalam kandungan dan sudah merencanakan nama lain saat dia lahir nanti.

Ceklek

Aku berjingkat terkejut melihat Kak Umin di depan pintu kamar mandi, ia memakaikan mukenaku. Senyumnya mengembang dengan pandangan tertuju padaku, “Sudah siap. Ayo berangkat sekarang.” Katanya menyampirkan sajadah di bahuku.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang