Khanza

263 48 13
                                    

Khanza’s pov

“Mereka sangat dekat, Sa. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Rasanya sakit sekali melihat langsung dia memilih perempuan lain ketimbang aku.” Aku memeluk Mbak Dia yang menangis. Tetanggaku ini sedang patah hati karena manusia jahat bernama Salman meninggalkannya dan memilih bersama perempuan lain.

Ceritanya, tadi Mbak Dia pergi ke kampus untuk menemui Mas. Mbak Dia bilang harusnya hari ini Mas menemaninya pergi membeli peralatan untuk tugas prakarya. Tapi ternyata Mas malah pergi bersama salah satu teman perempuannya bernama Fani, mereka bilang akan pergi survey untuk penerimaan anggota baru klub Pecinta Alam.

Aku tidak percaya ini!

“Sabar ya Mbak. Tenang saja, nanti Sasa akan mencincang halus tubuhnya dan membakarnya!”

“Jangan sakiti dia, Sasa. Aku tidak mau menjadi janda di usia muda.” Aku memutar bola mataku malas, Mbak Nadia memang benar-benar bucin akut.

“Berhentilah menangis. Salman pergi sebentar saja.” Aku menatap Mas Satria yang mengelap air mata Mbak Dia dengan sapu tangannya. Aku mengalihkan pandanganku dan berusaha keras agar hatiku ini baik-baik saja.

Kenapa ada Mas Satria juga?

Jadi, tadi aku mengajak Mas Satria pergi ke kedai es krim Ralia yang terkenal itu. Tapi sebelumnya Mas Satria ke kampus untuk mengembalikan tenda. Saat kita ke gedung ekstra, kami melihat Mbak Dia menangis di salah satu bangku kantin. Mas Satria membawa kami masuk ke ruang Pecinta Alam.

“Bukan masalah pergi sebentar atau lama. Tapi masalahnya, Mas Salman lebih memilih pergi dengan Fani Fani itu daripada aku. Padahal janjinya denganku dulu.”

“Sudah, Mbak. Akan ku beri pelajaran nanti.”

Mas Salman memang selalu seperti itu jika dengan manusia bernama Fani, alias Tiffany. Gadis muallaf itu selalu saja mencari alasan agar bisa menghabiskan waktu dengan Mas Salman. Dan hal ini membuat Mbak Dia yang menjadi panutan hidupku dan sudah ku restui sebagai calon kakak iparku ini menangis sedih.

Awas saja nanti.

“Berhenti menangis, ini makanlah.” Mbak Dia menatap Mas Satria yang menyodorkan cokelat untuknya. Mbak Dia menatapku dan menggeleng.

“Tidak perlu, Mas. Aku baik-baik saja.” Aku menunduk saat melihat tatapan bersalah ditujukan olehnya dan ia memelukku lagi.

“Berikan saja coklat itu pada Khanza. Ia yang seharusnya ditenangkan karena kalian tidak jadi pergi.” Aku meremat tangan Mbak Dia, bagaimana bisa mulutnya sangat licin seperti belut?

“Khanza.”

“Ah, tidak perlu Mas. Aku baik-baik saja. Jangan dengarkan Mbak Dia.” Aku tersenyum padanya dan kembali menunduk.

Aku menolak bukan tanpa alasan. Ya memang aku sangat sedih dan kecewa Mas Satria membatalkan janji dengan alasan menemani Mbak Dia hingga Mas Salman kembali. Dan satu hal yang membuatku sangat sedih, Mas Satria memilih memberikan cokelat itu pada Mbak Dia. Lalu memberikannya padaku setelah Mbak Dia yang memintanya, bukan karena keinginannya sendiri.

Itu sangat menyakitkan.

“Kau mau apel? Atau mangga? Oh iya, tadi aku dan Khanza membeli pudding leci kesukaanmu. Makanlah ini saja.” Mas Satria membuka pudding leci dan menancapkan sendok kecil sebelum memberikannya pada Mbak Dia.

“Makan saja, Mbak.” Aku menyodorkannya pada Mbak Dia yang menatapku. Aku tersenyum dan mengangguk hingga akhirnya memakannya.

Kenapa Mas Satria melakukan ini?

Ku pikir tadi kami akan memakan pudding ini berdua saat di kedai es krim. Tapi ternyata tidak, rencana yang ku susun berantakan dan harapan-harapanku musnah sudah. Melihat perhatian Mas Satria pada Mbak Dia membuatku paham, tidak ada harapan lagi untuk hari ini.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang