7

512 74 32
                                    

Fian’s pov

Tengah malam, tapi aku belum juga bisa tidur. Acara di pondok sudah selesai tepat jam 10 malam. Seharusnya aku bisa tidur dengan nyenyak dengan rasa lelah luar biasa ini, tapi mataku enggan menutup. Sebenarnya apa yang mengganggu pikiranku? Apa soal Bu Halimah?

Ku pikir tidak.

Aku bersikap biasa saja tadi, bahkan aku tidak merasakan kebencian atau rasa kesal padanya. Aku masih ingat saat mengajaknya mengobrol walau sebentar, sebelum teman-teman Kak Umin datang dan berfoto bersama.

Aku pindah posisi menghadap ke samping kanan, ke arah suamiku yang sudah tertidur dengan nyenyaknya. Aku menggigit bibir bawahku menahan tawa melihat mulutnya yang sedikit terbuka.
Selama ini aku belum pernah melihatnya tertidur seperti ini, selalu saja aku yang tidur lebih dulu. Tanganku terulur menyentuh poni yang menutupi dahinya. Hari ini poni itu tidak dinaikkan seperti acara di Bali.

Aku menutup mulutku yang terbuka karena menguap. Sepertinya aku harus tidur sekarang, bukankah besok aku harus bangun pagi untuk membantu menyiapkan pekerjaan rumah? Ya, sebagai gambaran menantu yang baik. Besok juga Kak Umin mulai bekerja setelah seminggu cuti. Aku harus menyiapkan semua keperluannya, kan?

Tentu saja.

Aku melingkarkan tanganku di pinggang Kak Umin yang tertutup selimut tebal dan bergeser merapat padanya. Aku mengusak wajahku di dadanya, tempat yang menjadi favoritku sekarang. Senyumku mengembang saat merasakan elusan lembut di rambutku. Apa aku membangunkan suamiku? Sepertinya tidak. Hembusan napas Kak Umin tetap teratur.

#

05:30 WIB

“Hari ini?” aku mengangguk menatap Kak Umin yang membawa ponselku. Ia baru saja membaca jadwal tes wawancara yang baru diumumkan kemarin. “Kamu tidak lelah? Kemarin hanya tidur 4 jam saja.” Aku menggeleng.

“Aku baik-baik saja, Kak. Boleh ya?” aku menatapnya penuh harap, bahkan kedua tanganku menggenggam tangan kirinya yang bebas. Kak Umin menatapku dan menghela napas panjang berulang kali.

“Tapi berangkat dan pulang dengan Kakak.” Aku tersenyum dan mengangguk, senyuman terukir di wajahnya. “Kamu sangat berharap dengan stasiun TV ini?”

“Ya, semua harapanku ada disini. Aku merasa semuanya akan terwujud melalui ini.”

“Baiklah, sekarang ayo siap-siap dan kita sarapan bersama sebelum berangkat.” Kak Umin berdiri dan hendak melangkah menuju lemari pakaian, tanganku menahannya.
“Kenapa?”

“Bagaimana jika Umi dan Abi tidak mengizinkanku pergi?”

“Sayang, suami kamu itu Kakak bukan mereka. Izin dari Kakak sudah lebih dari cukup.”

“Ya tapi-”

“Ssssttt. Ayo siap-siap.”

#

-Osprey TV-
07:00 WIB

Aku dan Kak Umin sudah ada di halaman parkir sebuah stasiun TV paling populer di Kediri. Suasana gedung Osprey TV sangat ramai, dipenuhi pelamar yang melakukan tes wawancara. Terbukti dengan mayoritas dari mereka yang memakai pakaian hitam-putih. “Kak, kita pulang saja ya?” aku menoleh pada Kak Umin yang mengerutkan keningnya.

“Jangan bercanda kamu. Kesempatan disini hanya datang sekali.”

“Aku takut, Kak.”

“Jangan takut sayang, kamu sudah mendapat dukungan dan do’a dari semua orang. Kamu tidak akan mereka semuanya, kan?” aku mendekat ke arahnya dan memeluknya.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang