9

521 65 24
                                    

Fian’s pov
21:00 WIB

“Memang seperti itu, semua yang bersalah wajib dihukum.” Aku yang mengunyah apel menatap Kak Umin yang memandang lurus ke layar laptopnya.

“Ya sih, tapi apakah itu tidak keterlaluan?” Kak Umin menatapku.

“Setiap hukuman yang dijatuhkan setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Dia telah menghina menantu Kyai dan hukuman tadi pantas untuknya.”

“Kenapa Kakak marah padaku?” Kak Umin menghela napas panjang dan menyandarkan pungungnya di sandaran kursi.

“Kakak tidak marah padamu, sayang. Kakak hanya merasa kesal karena tidak bisa melindungi istri Kakak. Harusnya Kakak yang menjatuhkan hukuman padanya dan mengeksekusinya.”

Aku memegang tangan kanan Kak Umin dan mengecup punggung tangannya. “Mau hukuman itu dari siapa, sama saja dia mendapatkan hukuman atas perbuatannya.”

“Kamu tidak membencinya?”

Aku menggeleng, “Justru aku kasihan padanya. Reputasinya hancur dan semua orang menganggapnya buruk sekarang. Simpati orang-orang padanya lenyap dan hanya ada kebencian.”

“Kakak tidak mengerti dengan jalan pikiranmu.”

Aku terkekeh, “Kakak membencinya?”

“Tentu saja, dia sudah berani-beraninya menghina istri Kakak di depan umum. Seperti manusia tidak beradab saja.”

“Mungkin amarah Kakak tidak sebesar ini jika mengetahui alasan kenapa dia menghinaku.”

“Kenapa memangnya?”

“Kakak pura-pura tidak tahu.”

“Kakak benar-benar tidak tahu, sayang.”

Aku menatapnya datar, “Aning menghinaku karena dia tidak menyukaiku, bahkan saat pertama kali kami bertemu. Tatapan matanya tajam dan sama sekali tidak ramah. Kakak tahu kenapa dia begitu?” Kak Umin menggeleng membuatku kesal.

“Kenapa?” Kak Umin mengamil cangkir kopi di samping laptop dan menyesapnya.

“Karena Aning menyukai Kakak.”

Uhuk

Uhuk

Uhuk

Aku menepuk punggung Kak Umin yang tersedak. “Kenapa sih Kakak sering tersedak?” Kak Umin menghela napas panjang berulang kali dan menatapku.

“Darimana kamu tahu? Dia mengatakannya?”

Aku menggeleng, “Terlihat dari gerak-geriknya saat ada Kakak selama ini.” Kak Umin menggenggam tanganku, pandangannya tak dapat ku artikan. “Wajar Kak. Siapa yang tidak suka Kak Umin? Kakak sempurna dan memiliki segalanya.”

“Tidak, itu tidak benar. Tidak ada manusia yang sempurna, Kakak juga ada kekurangan. Hanya saja mereka tidak tahu itu.”

Memangnya apa kurangnya Kak Umin?
Jahatkah aku jika mengatakan padanya aku tidak tahu kekurangan suamiku sendiri?

“Dengar. Meskipun ada banyak perempuan yang menyukai Kakak, tidak akan berpengaruh apapun. Karena hati dan cinta Kakak sudah dimiliki seseorang.”

“Tapi semua perempuan tidak bisa hanya mendengar kalimat penenang seperti itu. Harus ada buktinya.”

“Seiring berjalannya waktu akan terbukti.”

“Baiklah. Kakak mau kopi lagi?”

“Tidak, satu saja sudah cukup.” Aku mengangguk saja, Kak Umin menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda karena ulahku yang mengganggu konsentrasinya.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang