16

492 72 26
                                    

Umin’s pov


Kami berlima duduk di meja makan untuk makan malam bersama. “Mbak, boleh Ania tanya sesuatu?” Ania memandang istriku yang mendongak menatapnya.

“Tanya saja Ning.” Ania tersenyum lebar mendengar panggilan dari kakak iparnya.

“Kenapa tadi Mbak menolong Aning? Harusnya Mbak biarkan saja dia di bully yang lainnya. Aku akan mendiamkannya jika jadi Mbak.” Kami semua menatap Ania yang asyik memakan potongan ayam bumbu kecapnya.

“Entahlah, mungkin kasihan?” Fian menyuapkan nasi ke mulutnya.

“Mbak terlalu baik. Dia saja belum tentu memiliki rasa itu untuk kita semua. Apa jangan-jangan Mbak sudah memaafkannya?”

“Bukankah kita harus saling memaafkan, benar kan Abi?” Abi mengangguk menjawab pertanyaan menantunya. Ania mendengus, tampak tak suka dengan jawaban Fian.

“Mbak benar, Dek. Sebagai sesama manusia kita harus saling memaafkan.”

“Walaupun hal yang dilakukannya sudah keterlaluan?”

“Dia sudah menebus kesalahannya selama ini, bukankah itu sudah cukup?”
Aku mengerjap beberapa kali, takjub dengan Fian. Dia sudah memaafkan Aning yang menghinanya bahkan di depan umum? Aku sangat bersyukur memilikinya sebagai istriku. Aku saja sampai saat ini masih belum bisa memaafkan dia atas perbuatannya itu.

“Mbak memang terlalu baik. Bagaimana bisa Mbak memaafkannya? Walau berapa tahun berlalu, aku tidak akan memaafkan dia.” Aku setuju dengan Ania.

“Tentu saja Mbak sangat baik, itulah mengapa ia menjadi menantu kesayangan Umi.” Aku tersenyum melihat Umi merangkul Fian yang hanya tersenyum. Ania tersenyum dan mengangguk.

“Abi dan Umi sudah memaafkan Aning?” Abi dan Umi menatap menantu mereka.

“Sudah.”

“Dia tidak pernah membuat kesalahan selama menjalani hukumannya, kan?”

“Ya, Mbak. Dia melakukan hukumannya dengan benar.”

“Kalau begitu, dia bisa kembali bekerja di rumah kan?”

Kami berempat terkejut mendengarnya. Tentu saja terkejut, bagaimana bisa Fian menanyakan hal itu? Bahkan aku tak pernah memikirkan hal ini. “Mbak serius?”

“Ya, Abi. Mbak serius. Abi dan Umi sudah memaafkan dia, begitu juga dengan Mbak. Selama menjalani hukuman dia juga tidak berulah sama sekali. Jadi, bukankah semuanya sudah cukup untuk menerimanya kembali?”

“Tapi semua tidak sesederhana itu, Mbak. Kepercayaan yang dihancurkan juga membutuhkan waktu.”

“Dan sekarang waktunya membangun kepercayaan itu, Umi.” Umi menatap Fian lekat-lekat, senyuman terukir di bibirnya kemudian.

“Abi dan Umi akan diskusikan nanti.” Fian tersenyum dan mengangguk.

“Eh, Abi dan Umi tadi lihat Mbak Fian memarahi 3 santri yang mengganggu Aning? Luar biasa!”

Kami tersenyum memandang Ania yang bercerita dengan semangat seperti biasanya. Aku melihat semuanya, dan aku takjub dengan istriku. “Bagaimana jika Mbak menjadi kepala keamanan?”

#

Aku masuk kamar setelah selesai shalat Isya’ berjama’ah di masjid. Hal pertama yang ku lihat adalah istriku tercinta sedang duduk di meja kerjanya dan sibuk menatap tumpukan kertas di hadapannya. Aku menghela napas saat kembali mengingat permintaannya saat makan malam tadi.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang