20

520 73 38
                                    

Umin’ pov
-Rumah Sakit-
17:00 WIB

Panik.

Itu yang ku rasakan sekarang.
Siapa yang tidak panik tiba-tiba Ania menelepon dan mengatakan istriku pingsan? Aku merutuki kebodohanku yang mematikan ponsel selama rapat dan baru menyalakan satu jam setelahnya.

Sekarang aku berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju sebuah ruangan yang di beritahu Ania di telepon tadi. Pikiranku dipenuhi penyebab dia pingsan, apakah benar karena pekerjaannya?

Atau karena hal lain? Apa Fian pingsan karena hal yang dikatakan Umi membuatnya semakin tertekan?

“Mas!” aku menoleh ke arah Ania yang melambaikan tangan ke arahku. Ania berada di luar ruangan, sepertinya menungguku. “Akhirnya Mas datang juga, ayo masuk Mas.” Ania menggandengku masuk.

Di dalam ada Umi yang menangis dengan Mama, ada Abi dan Papa. “Umi kenapa?” tanyaku pada Ania.

“Nanti saja ku jelaskan.” Aku menatap Ania yang berjalan ke arah istriku yang terbaring lemas di tempat tidur rumah sakit dengan selang infus di tangan kirinya dan alat bantu pernapasan.

“Akhirnya Mas datang juga.” jantungku berdetak tidak karuan saat mendengar suara Abi. Papa menatapku, entah apa yang ada dalam pikiran beliau sekarang. Pasti Abi sudah menceritakan semuanya.

“Adek kenapa, Pa?  Dia baik-baik saja, kan?”

“Adek kekurangan cairan karena kurang istirahat dan mengalami tekanan yang cukup berat. Sekarang dia baik-baik saja dan sedang istirahat, tenang saja.” Benar, Papa sudah tahu semuanya dan pasti dari Abi.

“Semua ini gara-gara Umi. Umi yang sudah membuat Mbak tertekan.”

“Tidak, Mbak. Jangan menyalahkan diri sendiri. Mbak tidak salah, memang keadaan Adek yang sedang tidak stabil. Ya, kan Pa?”

“Ya, Mbak Najwa.” Papa duduk di samping Umi dan menjelaskan mengenai kondisi Fian.

Aku menatap Abi yang menepuk pundakku. “Apa yang terjadi, Bi?”

“Abi tidak tahu apa yang terjadi tadi karena masih di Pondok. Tiba-tiba Aning memanggil Abi dan mengatakan jika Mbak pingsan. Abi, Umi, dan Ania langsung membawanya kemari.” Jantungku berdetak semakin cepat memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. “Temui dulu istrimu.” Aku mengangguk dan berjalan ke arah istriku.

“Apa Mbak bertengkar dengan Umi?” tanyaku pada Ania yang memandang sedih Mbak favoritnya.

“Tidak. Mbak tidak mengatakan apapun saat Umi bicara dengannya. Sepertinya keadaan Mbak tidak baik-baik saja sepulang kerja. Tadi Mbak sedikit oleng saat berjalan masuk rumah.”

“Ania.” aku dan Ania menoleh ke arah Abi.

“Ya, Bi?”

“Kita pulang sekarang, ya.”

“Tapi, Bi-”

“Besok kita kesini lagi.” Ania menatap Fian dan mengecup pipinya, setelahnya ia berjalan ke arah Abi. “Kami pulang dulu, Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.”

Mama dan Umi masih ada di sofa, sedangkan Papa berjalan keluar bersama Abi dan Ania karena harus kembali ke ruangannya. Aku menarik kursi tepat di sebelah tempat tidur istriku dan duduk disana.

Tanganku terulur memegang tangan kurusnya dan mengelusnya pelan.
Bagaimana bisa dia kekurangan cairan? Apa di kantor dia tak sempat makan? Padahal dia sudah berjanji padaku makan di kantor. Ah, hari ini aku terlalu sibuk hingga tak sempat memperhatikannya.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang