22

519 74 17
                                    

Umin's pov

Aku mengusap wajah ke sekian kalinya, elusan-elusan di bahuku tidak juga membuatku tenang. Setelah hampir setengah jam Fian menangis, dia tertidur dan Ania menemaninya di kamar sekarang.

Sekarang aku berada di ruang keluarga bersama Abi dan Umi. "Bukan Mbak yang egois, tapi Mas. Seharusnya Mas tidak memaksa Mbak menikah setelah lulus."

"Tidak, Mas. Kalian berdua yang memutuskan menikah, bukan Mas yang memaksa." Aku menatap Abi yang menatapku.

"Abi masih ingat kalian berdua menyiapkan pernikahan dengan penuh semangat. Bukan hanya Mas, tapi Mbak juga. Kalian berdua yang mengurus semuanya dan menentukan tanggal. Hentikan pembicaraan mengenai siapa yang egois, lebih baik sekarang kita fokus dengan keadaan Mbak."

"Abi benar, Mas. Jika Mas merasa bersalah, Umi juga. Umi bahkan mengatakan sesuatu yang tidak pantas, itulah sebabnya hingga sekarang Mbak bersikap dingin pada Umi." aku menatap Umi yang menunduk.

"Mbak bersikap seperti itu tidak hanya pada Umi, tapi pada semua orang." aku mengangguk setuju dengan Abi.

"Mungkin saja saat itu Mbak sedang berpikir, jadi sikapnya berubah." kataku mencoba menenangkan Umi walau aku sendiri tidak tenang.

Sikap Fian ini tidak akan membahayakan pernikahan kami, kan?

"Assalamu'alaikum."

Kami berdiri dan memusatkan pandangan menuju pintu masuk. Ku lihat seluruh keluarga Fian berjalan masuk dengan wajah khawatir. Tentu saja aku mengabari mereka tentang keaadaan Fian sekarang. "Waalaikumussalam."

"Bagaimana keadaannya sekarang? Dia sudah tenang?" Mama menatapku dengan wajah khawatirnya, mata sendunya itu membuat rasa bersalahku semakin besar.

"Ya, Ma. Adek sudah tenang, di dalam bersama Ania." Mama dan Papa menghela napas lega.

"Boleh kami melihatnya?" aku menatap Arin yang menggenggendong Kia.

"Tentu boleh, masuk saja." kata Umi dengan senyuman. Mama dan Arin masuk ke kamarku.

"Semua yang dia pikirkan sendiri meledak, dan dia memutuskan menyerah." Tidak hanya Papa yang terkejut, tapi Fahri juga. Wajahnya menampakkan tidak rela, aku tahu Fahri mengalami apa yang Fian rasakan sekarang.

#

Fian's pov
16:00 WIB

"Adek yakin?" aku menghela napas panjang dan menunduk. Aku dengan Mas Fahri duduk di ruang keluarga, sedangkan yang lainnya berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. Kami berencana makan malam bersama.

"Hmm."

"Jangan mengambil keputusan saat kalut."

"Adek sudah memikirkannya berulang kali, Mas. Dan keputusan akhirnya selalu sama. Adek menyerah." Mas Fahri menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan.

"Adek memikirkan posisi semuanya dan inilah yang terbaik. Adek memang bisa tetap melanjutkan pekerjaan, tapi rasanya itu tidak lagi berguna jika tidak mendapatkan dukungan dari semua orang. Benar kan?"

"Baiklah jika itu memang keputusan yang Adek ambil. Pastikan tidak ada penyesalan, mengerti?" aku menatap Mas Fahri dan mengangguk.

"Adek menikmati bekerja selama 2 tahun ini?"

"Hmm. Adek mendapatkan pengalaman menyenangkan bersama mereka. Bekerja keras hingga masuk tim inti, bukankah Adek sudah melakukan hal yang luar biasa?"

Mas Fahri tersenyum, "Ya, sangat luar biasa. Perjalanan panjang yang penuh rintangan."

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang