17. (21+)

825 77 37
                                    

Chapter ini mengandung adegan 21+. Dimohon dibaca setelah berbuka dan sudah cukup umur. Dosa ditanggung masing-masing.

~Zalumin&Zafian~

WARNING 21+

Umin’s pov
21:00 WIB

Aku menengok ke arah tempat tidur, Fian tidur lebih awal dari biasanya. Ini tidak biasa, sesuatu pasti terjadi padanya. Sejak pulang tadi dia diam saja dan tampak tertekan. Dia belum cerita, jadi aku tidak tahu apa sebabnya. Dugaanku tentang pekerjaan, tapi tidak menutup kemungkinan selain itu. Aku jadi semakin yakin jika kemarin lusa dia mendengar perdebatanku dengan Umi.

Aku mematikan laptopku karena pekerjaanku sudah selesai dan beranjak dari kursi kerjaku dan berjalan menuju tempat tidur. Aku berbaring perlahan di sebelah istriku yang memejamkan matanya, ia tampak gelisah dan tidak tenang.

Tanganku terulur mengelus keningnya, berharap ia tenang. Namun tidak, Fian membuka matanya dan menatapku dengan tatapan sendu. “Kakak membangunkanmu?” Ia menggeleng.

“Aku belum tidur.”

“Mau cerita?” Fian mengangguk dan duduk dengan perlahan. Ia menghela napas panjang berulang kali dan menunduk.

“Aku gagal, Kak.” Keningku berkerut mendengarnya, ia mendongak dengan mata berkaca-kaca. “Aku gagal tahun ini dan aku tidak tahu apakah masih ada kesempatan di tahun depan. Aku gagal.” Aku menariknya ke pelukanku begitu ia menangis.

Benar dugaanku, dia tertekan dengan pekerjaannya. Tapi, entah kenapa aku merasa ada satu hal lagi yang membuatnya tertekan.

“Tak apa sayang. Tidak apa-apa. Kesempatan itu pasti datang suatu saat nanti. Jangan menyerah!” Fian mengeratkan pelukannya dan tangisannya semakin keras.

Aku akan membiarkannya kali ini, Sahal bilang saat seseorang tertekan menangis adalah salah satu cara meluapkan emosi. Dengan begitu ia akan lebih tenang setelahnya. Meskipun menangis tidak pernah menyelesaikan masalah, setidaknya membuat tenang dan dengan begitu bisa berpikir jernih cara menyelesaikan masalah.

Beberapa menit setelahnya, tangisnya berhenti. Aku menunduk menatapnya yang memejamkan mata, aku tahu dia tidak tidur. Tangannya masih meremat piyama yang ku kenakan. “Mau minum sesuatu? Teh hangat atau yang lain?” aku merangkum wajahnya yang basah dengan air mata dan mengusap air matanya. Fian mengangguk membuatku tersenyum.

“Kakak buatkan sesuatu, tunggu ya.”

“Kita buat bersama.”

“Tidak. Tunggu saja disini, Kakak akan segera kembali!” aku melompat dari kasur dan berjalan keluar kamar dengan cepat menuju dapur.

Aku sempat berhenti begitu melihat seseorang berada di dapur. Ia sedang merapikan meja makan dan membersihkan peralatan makan. Sebenarnya aku tidak setuju dengan keputusan Umi dan Abi yang menerimanya kembali menjadi pengurus rumah, apalagi hingga tinggal disini.

Namun, setelah tahu Fian membujuk mereka dengan perjanjian jika ia kembali berulah maka ia akan kembali ke kampung halamannya, aku tidak ada pilihan lain selain menyetujuinya.

“Mas Umin butuh sesuatu?” tanyanya saat aku mengambil panci. Aku memilih untuk mengabaikannya. “Mas mau buat kopi, ya? Biar saya bantu.” Aning hendak mengambil panci yang ku pegang, aku menatapnya dan menjauhkan panci dari tangannya.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang