5

563 76 24
                                    

Fian's pov
-Kyai Lukman's House-
11:00 WIB

Aku menurunkan koper dari taksi dengan malas-malasan. Rasanya sangat lelah dan aku hanya ingin tidur setelah ini. Honeymoon di Bali telah berakhir sodara-sodara, dan besok acara walimah di pondok. Itulah sebabnya aku dan Kak Umin langsung pulang kemari.

"Semuanya sudah?" aku mengangguk saja menjawab pertanyaan Kak Umin, aku benar-benar tidak memiliki tenaga untuk bicara sekarang.

"Mas Umin sudah pulang?" Pandanganku teralih pada segerombolan laki-laki yang lewat di depan kami. Dari pakaiaannya saja sudah jelas mereka santri.

"Iya." Jawab Kak Umin ramah dan aku tersenyum ke arah mereka. Mereka mengalihkan pandangannya padaku dengan senyuman semakin lebar.

"Mbak cantik." kata salah satu diantara mereka membuat senyuman Kak Umin luntur. Menyadari hawa-hawa tidak menyenangkan, mereka membungkuk dan berlari masuk pondok.

"Jangan tersenyum!"

"Kenapa? Aku ingin terlihat ramah."

"Pokoknya jangan!" Kak Umin menggandeng tanganku dan kami berdua berjalan masuk menuju rumah.

Suara-suara ribut terdengar membuatku menoleh ke arah jalan masuk menuju pondok. Mataku membulat saat melihat banyak sekali orang menatap ke arah kami berdua. Aku tersenyum ke arah mereka membuat suasana semakin ribut. "Bukankah Kakak bilang jangan tersenyum?" aku menatap suamiku dengan kesal.

"Kenapa sih? Senyum saja tidak boleh!"

Aku menunduk menatap koper yang ku taruh di depanku. Kak Umin hanya menghela napas panjang tanpa menjawabku. Tangannya terulur membuka pintu rumah. "Mbak!" aku berjingkat terkejut tiba-tiba seseorang berteriak dan melompat begitu pintu utama terbuka.

"Ania kangen, kenapa Mbak baru datang sekarang, hmm?" Aku hanya tersenyum pada Ania yang masih memelukku erat.

"Ania, biarkan Mbak istirahat dulu. Mbak baru sampai, pasti lelah." Ania merengut dan melepas pelukannya. Ia merangkul tangan kiriku dan mendorong Kak Umin menjauh dariku.

Kak Umin menghela napas dan salim ke arah Umi dan Abi yang berjajar menyambut kedatangan kami. Aku tersenyum dan mencium punggung tangan kedua mertuaku bergantian. "Ayo Mbak, ku antar ke kamar." Ania menarikku menuju sebuah kamar yang tak jauh dari ruang keluarga.

Aku menengok ke belakang, Kak Umin ditarik Umi duduk di sofa. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang penting. Ku harap Kak Umin tidak lupa membicarakan mengenai penundaan momongan. "Mbak sudah membawanya?" aku menatap Ania yang berbisik.

"Belum, rencananya akan dibawa Mama nanti sore." Ia mengangguk, Ania membuka pintu kamar dan mendorongnya.

"Ini kamar Mbak!" aku takjub memandang interior kamar Kak Umin, nuansa hitam-putih seperti kebanyakan pria. Tembok putih bersih tanpa adanya bingkai foto, hanya ada kaligrafi bertuliskan Allah dan Muhammad dalam huruf hijaiyah. Pandanganku teralih ke arah rak buku berwarna hitam dengan kaca bening di bagian depan. Mataku memicing ke arah deretan buku-buku tebal dengan tulisan hijaiyah yang tidak ku mengerti.

"Mbak." Ania mendorongku untuk duduk di tepi tempat tidur. "Abi melarang dinding di tempeli poster Oppa-Oppa kita. Jadi, ketika poster itu nanti datang tempelkan saja di balik pintu lemari. Abi tidak akan tahu."

Aku memandang lemari hitam yang ditunjuk Ania dan mengangguk. "Nanti panggil aku. Kita menempelkan poster-poster itu bersama."

"Oke."

Ceklek

Suara pintu terbuka membuat Ania menjauh dariku dan wajahnya berubah serius. "Ya memang seperti itu Mbak. Awalnya memang sulit, tapi lama-lama akan terbiasa."

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang