21

510 76 25
                                    

Umin’s pov
09:00 WIB

Aku menatap Fian yang hanya diam memandang TV yang menayangkan drama korea. “Sayang, dimakan jeruknya.” Aku menyuapkan jeruk untuknya, Fian membuka mulutnya dan menerima suapanku.

“Kenapa masih disini?” aku menatap Fian yang bahkan tidak menatapku.

Sejak semalam aku merasa ada yang aneh dengannya, sikapnya lebih dingin dan terkesan ketus saat bicara denganku. Seperti barusan. Apa dia marah denganku? tapi, apa salahku? “Kakak sudah bilang menemani dan merawat istri Kakak yang sedang sakit.”

“Kenapa selama ini Kakak berpura-pura?” aku mengernyitkan kening mendengarnya.

“Pura-pura apa?”

“Pura-pura mendukungku.” Aku terperangah mendengarnya.

“Kakak tidak pura-pura, sayang. Kenapa kamu menyimpulkan begitu?” Fian menoleh dan menatapku lekat-lekat.

“Apa setelah ini jika aku memutuskan kembali bekerja, Kakak tetap mendukungku?”

“Tentu saja, dengan catatan pekerjaanmu tidak menyita banyak waktu dan tidak membuatmu tertekan lagi.”

“Kakak tidak mempedulikan gosip negatif para tetangga tentangku?” mataku membulat mendengarnya, dia sudah tahu semuanya?

“Kamu terganggu dengan mereka?”

“Aku pribadi tidak, tapi Abi dan Umi sangat terganggu.” Fian menunduk dan memainkan jarinya, wajahnya berubah sedih.

“Jangan pikirkan itu, fokus saja pada kesehatanmu. Jika keadaanmu membaik, besok sudah boleh pulang. Tapi, belum boleh kembali bekerja.” Fian menatapku dan menghela napas panjang.

“Aku sendiri tidak tahu apakah masih bisa kembali bekerja atau tidak, setelah semua yang terjadi.” Fian merubah posisinya jadi berbaring dan memejamkan matanya.

“Kak.”

“Ya sayang?”

“Maaf berpikiran buruk tentang Kakak.” Aku tersenyum dan menggenggam tangannya.

“Tidak apa-apa, pikiranmu sedang kacau sekarang. Dengarkan Kakak, apapun keputusanmu kakak pasti mendukungmu. Sama seperti Papa.” Fian menggeleng.

“Papa sudah tidak lagi mendukungku, juga Bagas. Aku hanya punya Kakak sekarang, aku tidak mau Kakak berhenti mendukungku seperti mereka.”

“Itu tidak akan terjadi, sayang. Kakak selalu disini, bersamamu dan mendukungmu. Apapun yang terjadi.” Aku mengecup punggung tangannya beberapa kali membuat senyuman mengembang di bibir pucatnya.

“Kakak tidak tahu pembicaraanmu dengan Papa, hanya saja Kakak pikir kamu salah paham. Papa tidak mungkin berhenti mendukungmu, hanya saja Papa tidak ingin melihat putri bungsunya tertekan dan terlalu sibuk dengan pekerjaan."

"Tidak hanya Papa, tapi semua orang. Semua orang khawatir dengan perubahan yang terjadi padamu, lihatlah sekarang kau sangat kurus.” Fian menatapku kesal yang mencebikkan bibirnya.

“Aku kurus tapi tetap sehat.”

“Begitu? Lalu kenapa sekarang berada di rumah sakit? Apa sekarang orang sehat beristirahat di rumah sakit?” Fian mendengus membuatku terkekeh.

“Jika kakak ada di posisiku, apa yang Kakak lakukan? Berhenti atau maju?” aku menatap matanya lekat-lekat. Apa yang harus ku katakan sekarang? Semuanya akan buruk jika aku salah bicara, dia bisa salah paham lagi.

“Sudah ku duga, Kakak tidak bisa menjawabnya.” Fian memejamkan matanya dan menghela napas panjang berulang kali.

Ponselku yang berada di meja berbunyi, aku berjalan kesana dan mengangkat telepon. “Assalamu’alaikum.”

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang