Author's pov
Fian masih diam menatap benda di tangannya membuat Bagas berjalan mendekatinya dan merebut benda tersebut. Mata dan mulutnya terbuka lebar, ia memandang Arin yang tersenyum ke arahnya. "Mbak, ini benar?" tanyanya pada Arin yang mengangguk.
Bagas menyerahkan testpack itu ke tangan Fahri yang masih belum memahami apa yang terjadi. Fahri yang menatap testpack di tangannya itu menatap sang istri dengan wajah terkejutnya. "Mbak Arin hamil!" sorak Bagas yang diikuti jeritan panjang Tata dan Ania.
Mereka bertiga berpelukan dan melompat-lompat bersama Afrin yang ikut bergabung. Aura menutup mulutnya yang terbuka, sedangkan Imran memejamkan matanya dan mengucap hamdalah beberapa kali. Keduanya saling berpandangan dan berpelukan kemudian, bersama Nenek yang menangis haru.
"Selamat ya kalian." kata Sahal yang menepuk pundak Fahri.
"Aku akan menjadi ayah?" tanyanya pada Arin yang mengangguk. Tangannya terulur menggenggam tangan suaminya dan diarahkan ke perutnya.
"Ayah Fahri." Fahri berdiri dan memeluk erat istrinya, ia mengecup puncak kepala Arin berkali-kali.
Bagas yang melihat itu menutup kedua mata Ania agar tidak terkontaminasi dengan adegan yang belum pantas untuknya.
Fian yang melihat itu tersenyum senang, sebentar lagi akan ada bayi yang meramaikan rumah kedua orang tuanya. Ia tak perlu khawatir lagi mereka berdua akan kesepian dan merindukannya setiap saat, karena bayi itu yang akan membuat kedua orangtuanya sibuk nanti.
Ia mundur dan kembali duduk di samping Umin yang masih menatap kehebohan di hadapannya. Umin menoleh ke arah istrinya saat merasakan pergerakan di sampingnya. Ia tersenyum dan merangkul Fian yang juga tersenyum.
Bagas dan yang lainnya bergantian mengucapkan selamat pada Arin dan Fahri. Mereka berebut menyapa calon anggota baru keluarga Imran. Sekarang pertanyaan Fian terjawab, tentang perubahan sikap kakaknya, juga perubahan porsi makannya. Ia menyayangkan jika keluarganya tidak tahu dengan perubahan-perubahan itu.
Imran berdiri dan memeluk putrinya sangat erat, tangannya mengelus perut putri sulungnya yang masih datar. Ia menuntun Arin untuk duduk di sofa, Aura dan Nenek memeluk Arin dan menanyakan banyak hal padanya.
Hal itu tak luput dari pandangan Umin, ia membayangkan jika Fian berada di posisi Arin saat ini. Ia akan menjadi orang paling bahagia. Namun, ia harus bersabar karena semua itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Ia tidak tahu harus berapa lama menunggu, tapi ia yakin suatu saat pasti terjadi.
Ya.
Setelah berpikir panjang, ia memutuskan untuk mendukung keinginan istrinya dan memberi pengertian pada ibunya. Baginya, kebahagiaan istrinya jauh lebih penting dari kebahagiaannya.
Umin menatap Fian yang tertawa melihat interaksi Bagas yang mengatakan jika ia tidak ingin dipanggil Om. Tawanya ingin selalu Umin dengar mulai sekarang, dan senyuman itu tidak boleh luntur dari wajahnya. Ia juga tidak akan membiarkan air mata keluar dari kedua mata cantik istrinya. Ia bertanggungjawab penuh pada 3 hal itu sekarang.
"Ah, rasanya tidak sabar melihatnya lahir." Nenek tersenyum menatap Arin yang tersenyum lebar.
"Sabar, Nenek. Kita membutuhkan waktu 8 bulan lagi." Bagas mengelus bahu Nenek.
"Akan lebih seru lagi jika anak Mbak Arin punya teman yang hampir seumuran." Semua orang menatap Tata dengan pandangan bingung.
"Benar. Adek, cepat hamil ya. Kita menjalani kehidupan sebagai ibu hamil bersama-sama." suara Arin melunturkan senyuman Fian. Ia kembali teringat ucapan Najwa tadi siang yang membuatnya kepikiran hingga melupakan sebuah pertanyaan pada Umin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zalumin & Zafian Season 2
RomanceZalumin & Zafian Marriage Story Kulakukan apapun untuk membuatnya bahagia. -Adnan Basyar Zalumin- Sepertinya, ambisiku datang disaat yang tidak tepat. -Zafian Ruqayyah Imran- Manman tayang Mma, tayang Abi uga! Tayang teeemuanyaa. -Salman Furqo...