6

540 75 36
                                    

Fian’s pov
08:00 WIB

Aku berdiri dekat jendela salah satu ruangan yang ada di dekat aula pondok. Suasana aula pondok sangat ramai sekarang. Mobil-mobil berjajar memenuhi halaman pondok. “Kau gugup?” aku menoleh, Bagas mendekat ke arahku dengan wajah paniknya.

“Tidak.” kataku kembali menatap halaman aula. Tampak beberapa orang dengan pakaian yang tak jauh beda dari Umi dan Abi berjalan masuk menuju Aula.

“Makan ini, aku tahu kau tidak akan nafsu makan.” Bagas menyodorkan sesuatu yang terbungkus kertas minyak.

“Apa ini?”

“Apa ya namanya? Aku lupa. Intinya itu nasi kepal dengan resep Korea.”

“Jumeokbap?"

“Nah iya itu.”

“Thanks.” Bagas tersenyum dan menepuk-nepuk bahuku. “Dimana yang lain?"

“Berkeliling dengan Ania. Bapak-bapak bersama Mas Umin di ruangan sebelah, dan ibu-ibu juga Papa dan Ayah berada di pintu masuk Aula menyambut para tamu.” Bagas membuka satu makanan buatannya dan memakannya.

“Bapak-bapak?”

“Mas Fahri dan Pak Sahal.”

“Lalu ibu-ibu?”

“Mama dan Mbak.” Aku mengangguk saja dan meneruskan makanku.

“Aku tidak menyangka pernikahan di pondok akan seramai ini, tentu sangat berbeda dengan pernikahanmu di Bali.”

“Hmm, aku juga tidak menyangka akan seramai ini.”

Bagas menatapku khawatir, di paham benar aku tidak nyaman dengan banyak orang di sekitarku. “Aku baik-baik saja, jangan khawatir.” Ia menghela napas panjang dan kembali memandang jendela.

“Maaf Mas, laki-laki tidak boleh masuk ke ruangan ini.” aku dan Bagas menengok ke sumber suara. Terlihat Aning dan beberapa santri putri baru masuk ruangan.

“Dia temanku.”

Pandangan tajamnya mengarah padaku, “Walau begitu, tetap saja tidak boleh. Teman itu bukan mahram, jadi dia orang asing. Mas silahkan keluar.”

Bagas melompat turun dan mendengus kesal, “Baru kali ini aku diusir saat menemani sahabatku. Hei, kau tidak tahu sejak tadi dia memintaku datang dan menemaninya disini?”

“Saya tidak peduli dengan itu. Peraturan sederhana seperti ini, kalian tidak bisa memahaminya?"

Ekspresi wajah Bagas berubah, tatapannya menajam dengan wajah memerah. “Biarkan dia disini. Kami tidak akan melakukan apapun.” kataku memegang lengan Bagas, menurunkan amarah yang bisa meledak kapan saja.

“Seorang perempuan tidak boleh memegang laki-laki selain suami, saudara, atau ayahnya. Apa Mbak tidak tahu juga jika agama melarang itu? Ah, tentu saja Mbak tidak tahu. Mbak berasal dari keluarga liberal yang bebas. Saya penasaran, sebenarnya apa fungsi jilbab yang Mbak pakai jika tidak tahu mengenai aturan? Untuk formalitas agar terlihat alim? Atau agar terlihat sehat padahal sakit mental?”

“Heh!” Bagas menyentak tanganku dan mendorong bahu kanan Aning hingga ia jatuh terjengkang. “Jaga ucapanmu! Kau tahu apa mengenai Fian? Apa setiap hari kau bersamanya? Apa setiap hari kau bicara dengannya dan kau tahu semua tentang dia? Jangan katakan sesuatu yang tidak kau ketahui! Seenaknya saja bicara.” Aning menatap tajam Bagas yang berada tepat di hadapannya. 

“Bagas, hentikan.” Aku memegang kedua bahu Bagas dan mundur beberapa langkah. “Sudah, biarkan saja.” Bagas masih menatap Aning dengan tatapan tajam.

Zalumin & Zafian Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang